Usulan Hak Cuti Iddah bagi Wanita Pekerja Ke Negara

   Iddah adalah salah satu kewajiban bagi muslimah yang ditinggal mati oleh suaminya atau diceraikan. Aturan tentang iddah diatur secara jelas dalam al Qur’an dalam beberapa ayat, yaitu : surat al Baqarah: 228 bagi wanita yang dicerai, al-Baqarah: 234 bagi wanita yang ditinggal mati, dan surat at-Thalaq: 4 bagi wanita menopause dan wanita hamil.
   Adapun dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, kewajiban iddah diatur dalam UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dituangkan dalam pasal 11 yang isinya sebagaimana berikut:
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut
   Sebagai tindak lanjutnya, kemudian dibuatlah Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah tersebut, masa iddah diatur sebagaimana berikut:
(1) waktu tunggu bagi seorang janda sebagai maksud dalam pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
   Mengenai hak cuti berkaitan dengan kematian suami, UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 93 menjelaskan:
(1)Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah.
Ayat 2 point c berbunyi:
“Pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.”
Ayat 4 point f: “Suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari.”
Sementara dalam Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 point E, menjelaskan bahwa ASN (Aparatur Sipil Negara) yang suaminya meninggal dapat melakukan cutikarena alasan penting selama satu bulan.
Namun demikian, peraturan-peraturan di atas baru sebatas memberi larangan menikah lagi bagi wanita yang menjalani masa iddah dan keringanan cuti bagi yang suaminya meninggal tetapi belum sepenuhnya sesuai dengan durasi waktu iddah yang harus dilakukan seorang wanita untuk berdiam diri di dalam rumahnya secara penuh. Padahal, menjalankan kewajiban agama merupakan keharusanbagi setiap muslim dan secara umum hak ini harus dilindungi oleh undang-undang. Selain itu, tak semua wanita pekerja dalam kondisi kekurangan secara finansial sehingga harus selalu bekerja penuh waktu seperti saat tak sedang beriddah.
Namun demikian, waktu tunggu yang disebut dalam hukum positif di atas hanya berupa larangan menikah lagi bagi wanita yang menjalani masa iddah, tak secara eksplisit mencakup aturan lain semisal kewajiban berdiam di dalam rumah yang merupakan aturan tak terpisahkan dari iddah sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fikih. Karena itu, wanita yang menjalani iddah akan dilarang melangsungkan pernikahan dan tak mungkin pernikahannya dicatat berdasarkan aturan di atas. Namun demikian, wanita pekerja yang menjalani iddah sama sekali tak mendapat keringanan untuk berdiam diri di dalam rumahnya secara penuh atau cuti selama masa iddahnya sebab tak ada aturan yang mengatur tentang itu dan pemerintah atau para pemilik perusahaan tampak tak memedulikan kewajiban ini. Padahal, menjalankan kewajiban agama adalah wajib atas setiap muslim dan secara umum hak ini dilindungi oleh undang-undang. Selain itu, tak semua wanita pekerja dalam kondisi kekurangan secara finansial sehingga harus selalu bekerja penuh waktu seperti biasanya seolah tak sedang beriddah.
Akibat kekosongan regulasi terkait larangan keluar rumah bagi wanita yang menjalani iddah, selama ini fatwa-fatwa yang mengulas tentang problematika wanita pekerja yang menjalani masa iddah selalu berada pada konteks pemberian keringanan untuk keluar rumah dengan alasan adanya hajat mendesak sebab adanya kebutuhan ekonomi yang urgen atau karena takut kehilangan pekerjaannya. Belum pernah ada kajian serius tentang bagaimana solusi agar kesulitan yang dihadapi para Muslimah yang tak berada dalam kondisi perlu keringanan tersebut yang hendak menjalani aturan agama terkait iddah tanpa takut terancam posisinya di tempat kerja.
Di sisi lain, kesulitan yang harus dialami wanita beriddah sebab kewajiban masuk kerja ini sebenarnya bisa diatasi atau diminimalisir dalam beberapa kasus, misalnya ada banyak kasus di mana sebuah pekerjaan bisa digantikan oleh orang lain selama masa tertentu sehingga menjadi solusi untuk pemberian hak cuti kerja bagi wanita yang beriddah. Bila pekerjaannya tak dapat digantikan, maka setidaknya jam kerjanya bisa dikurangi pada tugas pokok saja yang tak bisa diwakilkan sehingga wanita yang beriddah dapat lebih maksimal dalam menjalankan kewajiban iddahnya di rumah.
Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, maka Bahtsul Masail Syuriyah PWNU Jawa Timur merekomendasikan kepada negara agar menerbitkan regulasi yang memberi kesempatan cuti iddah bagi pekerja wanita yang ditinggal mati suaminya dengan jaminan akan mempekerjakannya kembali apabila masa iddahnya telah usai.
Dasar Pertimbangan
1. Dasar Al Qur'an 
2. Hadist Nabi 
3. Aqwal Ulama 
   Penjelasan para ulama tentang kategori hajat yang memperbolehkan wanita beriddah keluar rumah hanya mencakup kebutuhan yang mendesak saja, seperti kebutuhan mencari makan, minum dan pekerjaan yang urgen bagi hidupnya yang tak dicukupi oleh pihak lain. Hajat ini tak mencakup kebutuhan yang masih bisa ditolerir bila tak dikerjakan saat itu juga seperti pengembangan harta kekayaan yang ada, berziarah, takziyah, menjenguk orang sakit dan semacamnya yang masih bisa ditunda atau diwakilkan.





Posting Komentar untuk "Usulan Hak Cuti Iddah bagi Wanita Pekerja Ke Negara"