Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan

  Fenomena jilbab menjadi isu yang belakangan menyeruak lagi. Terdapat silang pendapat dan kontroversi berkaitan dengan kewajiban memakai jilbab bagi perempuan muslimah. Perbincangan ihwal aurat perempuan di hadapan lawan jenis bukan mahram juga mengemuka di berbagai media sosial. Perbedaan pandangan dan pro kontra tidak bisa dihindari. Sebab itu, PWNU Jawa Timur menilai perlu memberikan penjelasan fiqhiyah secara proporsional hakikat jilbab, substansinya, hukum memakainya dan hal-hal seputarnya yang berhubungan dengan aurat perempuan.
I. Definisi Jilbab
Jilbab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan dengan makna kerudung lebar yang dipakai wanita muslimah untuk menutupi kepala dan leher sampai dada.
Sementara dalam bahasa Arab Jilbab dalam Bahasa Arab adalah bentuk kata tunggal (isim mufrad), kata pluralnya adalah jalabib. Kata jalabib sendiri disinggung dalam ayat al-quran surat Al-Ahzab ayat 59 : 
hukum jilbab atau hijab

   Berkaitan tafsir jalabib (jamak dari kata jilbab) dalam ayat, terdapat silang pendapat di antara ulama. Ada ulama yang mengartikan kata jilbab dengan baju yang menutupi semua badan. Imam as-Syihab mengartikan, kain yang digunakan untuk menutupi. Menurut an-Nawawi, kain panjang yang dipakai wanita di atas bajunya. Pendapat lain mengartikan dengan pakaian sejenis jubah (milhafah) dan setiap pakaian yang dapat menutupi seluruh badan.
  Sementara dalam kamus Lisan al-‘Arab sebagaimana dikutip Ali al-Shabuni dalam tafsirnya, jilbab diartikan sebagai pakaian yang lebih longgar daripada kerudung (khimar) dan lebih kecil daripada selendang (rida’) yang digunakan sebagai penutup kepala dan dada perempuan. Syaikh Thahir bin ‘Asyur memberi penjelasan senada dengan definisi Ibn Manzhur dalam Lisan al-‘Arab tersebut. Kemudian ia sedikit menambahkan, bahwa jilbab dikenakan oleh perempuan di bagian kepalanya, kedua sisinya terurai ke bagian dua ‘idzar (bagian samping telinga, jawa: athi-athi), sedangkan bagian lainnya terurai ke arah pundak dan punggung. Masih banyak lagi pendapat ulama tekait arti jilbab. Dalam konteks ini Syaikh Ali al-Shabuni menyimpulkan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh anggota badan wanita semacam jubah besar (milhafah).1*

II. Substansi Perintah Ayat Jilbab
  Substansi ayat jilbab, surat al-Ahzab ayat 59, adalah perintah terhadap wanita merdeka untuk menutupi aurat dengan busana model apapun, tidak harus memakai model busana tertentu yang menjadi ciri khas suatu golongan atau bangsa.
 Referensi 8* dan 9*
  Penting ditegaskan pula, dalam konteks ini yang dimaksud oleh Ibn ‘Asyur adalah model jilbab bangsa Arab tempo dulu, bukan jilbab itu sendiri dalam pengertian umum yaitu kain penutup aurat kepala, rambut, leher dan dada, yang di Indonesia juga lazim disebut kerudung.

III. Hukum Memakai Jilbab
   Sebagaimana penjelasan sebelumnya, syariat tidak memerintahkan wanita memakai busana tertentu, yang terpenting dapat menutup aurat. Berangkat dari sini, anggota tubuh wanita yang wajib ditutup dengan jilbab/kerudung dalam istilah yang lazim dipakai di Indonesia, bagi wanita adalah bagian kepala, rambut kepala (kecuali rambut kepala dalam penjelasan berikutnya) dan leher. Kewajiban menutupi bagian-bagian tersebut tidak harus memakai jilbab dengan model tertentu, namun boleh dengan penutup dan model busana apapun. 10*

IV. Bagian Selain Kepala, Leher dan Rambut Kepala yang Wajib Ditutupi
  Selain bagian kepala leher, dan rambut kepala yaing wajib ditutupi sebagaimana penjelasan sub keempat tentang Hukum Memakai Jilbab, wanita juga wajib menutupi bagian tubuh lainnya yang termasuk kategori aurat. Adapun aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya meliputi kaki, betis, paha, perut sampai ujung kepalanya. Namun terdapat beberapa pengecualian yang tidak wajib ditutupi sebagaimana perincian sebagai berikut:
A. Wajah dan Kedua Telapak Tangan
  Wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat menurut pendapat Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Namun mengenai hukum membukanya di depan laki-laki non mahram diperinci pendapat lintas mazhab sebagai berikut:
1. Hanafiyah: perempuan boleh membuka wajah dan kedua telapak tangan di depan laki-laki non mahram. Demikian pula laki-laki non mahram boleh melihatnya dengan syarat tidak disertai syahwat. Karenanya bila dikhawatirkan menimbulkan fitnah atau syahwat bagi laki-laki yang melihatnya, maka hukum membukanya juga haram. Dalam kondisi seperti ini perempuan wajib menutup wajah dan kedua telapak tangannya.
2. Malikiyah: menurut kutipan al-Imam al-Mawaq dari al-Imam ‘Iyadl, perempuan boleh membuka wajah dan kedua telapak tangan di depan laki-laki non mahram. Laki-laki non mahram juga boleh melihatnya dengan syarat tidak bertujuan menikmati (hasrat seksual) dan tidak menemukan kenikmatan seksual.
3. Syafi’iyyah: perempuan boleh membuka wajah dan kedua telapak tangan di depan laki-laki non mahram, namun bagi laki-laki non mahram haram melihatnya. Maka, bila dengan membukanya diduga atau diyakini akan dilihat laki-laki non mahram, hukumnya haram.11
B. Kedua Dzira’ atau Lengan Bagian Bawah
  Dzira’ adalah bagian lengan tangan dari ujung siku hingga ujung jari tengah, atau dapat diungkapkan sebagai lengan bagian bawah. Menurut satu riwayat dari Abu Hanifah, dzira’ bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi. Ditegaskan pula dalam Jami’ al-Baramikah sebagaimana dikutip dari Imam Abu Yusuf, bahwa seorang laki-laki boleh melihat dzira’ perempuan, karena kebutuhan memasak, mencuci dan aktivitas lainnya yang meniscayakan perempuan membuka lengannya.
  Namun kebolehan melihat lengan wanita tersebut disyaratkan tidak disertai syahwat. Demikian pula kebolehan membuka lengan bagi wanita di depan laki-laki non mahram, disyaratkan tidak khawatir menimbulkan fitnah/syahwat.12 Ibn Mazah al-Bukhari menjelaskan:

VI. Anjuran Berhati-Hati (Ihtiyath)
  Meskipun ulama masih berbeda pendapat dalam menentukan beberapa anggota tubuh yang termasuk aurat, namun perempuan muslimah yang baik hendaknya tidak mengikuti pendapat yang ringan kecuali dalam kondisi yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan untuk menghindari tasahul (ceroboh/ meremehkan) dalam urusan agama. Terlebih berkaitan dengan interaksi lawan jenis yang rawan menimbulkan dampak kerusakan yang berbahaya.17
  Demikian pula hendaknya berhati-hati dalam memvonis perilaku orang lain dalam persoalan menutup aurat. Artinya tidak gegabah menyalahkan pihak lain yang tidak sepaham, sepanjang masih ditemukan rujukannya dalam al-madzahib al-arba’ah.18

VII. Kesimpulan
  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun ulama empat mazhab yang memperbolehkan membuka kepala, leher dan rambut yang masih dalam batas kepala. Perbedaan pendapat terjadi dalam beberapa anggota tubuh tertentu meliput wajah, kedua telapak tangan, kedua lengan, kedua telapak kaki dan rambut kepala yang teruarai ke bawah (keluar dari area kepala). Untuk beberapa anggota tubuh tersebut ulama masih berselisih mengenai status auratnya. Pendapat yang menyimpang dari batasan aurat versi al-madzahib al-arba’ah sebagaimana uraian di atas, tidak dapat dibenarkan dan tidak boleh diikuti.19
  Namun demikian, bagi wanita hendaknya mengambil jalan ihtiyath (hati-hati) dalam mengambil pendapat para ulama tersebut, hendaknya tidak mengambil pendapat yang ringan kecuali dalam kondisi dibutuhkan. Demikian pula wajib bagi perempuan menutup bagian tubuh yang bukan aurat, bila khawatir menimbulkan fitnah/ syahwat kepada laki-laki non mahram yang memandangnya. demikian pula tidak mudah menalahkan pihak lain yang tidak semadzhab dalam persoalan aurat, selama masih ditemukan pendapat madzhab empat yang membenarkan.
  Dalam kewajiban menutup aurat, wanita diperbolehkan memakai model busana apapun, hal ini berbeda-beda sesuai tradisi yang berlaku. Memakai busana apapun, sepanjang dapat menutup aurat, sudah mencukupi untuk menggugurkan kewajiban menutup aurat.
   Selain kewajiban memakai busana yang menutupi aurat, wanita juga wajib menghindarkan dari segala bentuk pemakaian busana atau aksesoris yang diduga atau yakin dapat menarik hasrat/ syahwat lawan jenis, seperti pakaian ketat, pakaian glamor, parfum yang sangat menyengat dan lain sebagainya.


Diputuskan di : Lamongan
Pada tanggal : 5-6 Rajab 1441 H/29 Februari - 1 Maret 2020 M
Bahtsul Masail Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur Komisi B (Maudhu’iyah)
Pimpinan Sidang
ttd,
K. Ahmad Fauzi Hamzah Syam
Ketua Sekretaris
Perumus:
1. KH. Muhibbul Aman Aly
2. KH. Ardani Ahmad
3. KH. Mukhlis Dimyati
4. KH. Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I.
5. K. Ahmad Fauzi Hamzah Syam
6. K. Samsudin, S.Si., M.Ag.
7. K. Muhammad Hamim Hr
8. K. Muhammad Masykur Junaidi
9. K. Saiful Anwar
10. K M Arifuddin, S.Pd.I, M.Pd.I
11. Dr. H. Imron Mawardi, SP., M.Si
12. K. Muhammad Tohari Muslim
13. K. Zahro Wardi
14. K. Ali Romzi
15. K. Muhammad Anas
16. K. Ahmad Muntaha AM, S.Pd.

1. Ali as-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, II/374; dan an-Nawawi, Tahrir Alfazh al-Tanbih, 57; dan Muhammad at-Thahir ibn ‘Asyur, Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, (Tunis: ad-Dar at-Tunisiyyah, 1984 M), XXII/106
8. Ibn ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, XXII/107.
9. Muhammad at-Thahir ibn ‘Asyur, Maqashid as-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo-Bairut: Dar al-Kitab al-Mishri dan Dar al- Kitab al-Lubnani: 2011 M), 156-157.
10. Muhammad bin Ali Al-Hashkafi al-Hanafi, ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, (Bairut: Dar al-Fikr, 1386 H), I/ 405-407; Abu al-Walid bin Muhammad bin Ahmad ibn Rusyd al-Qurthubi, al-Muqaddimat al-Mumahhidat: Tibyan Ma Iqtadgathu Rusum al-Mudawwanah min al-Ahkam as-Syari’iyyah wa at-Tahshilat al-Muhakkamah li Ummahat al- Masailiha al-Musykilat, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), ed.: Zakariyya Umairat, I/80; Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Minhaj at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, tth.), 95; Muhammad Khathib as- Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), III/128-129; Zainudddin bin Ibrahim bin Muhammad/Ibn Najim al-Mishri dan Muhammad Amin Abidin bin Umar Abidin bin Abdil Aziz ad-Dimasyqi, al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq dan Mihnah al-Khaliq ‘ala al-Bahr ar-Raiq, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H/1997 M), cetakan pertama, ed: Zakariyyah Umairat, II/621-622; dan Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf ‘ala Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Bairut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1419 H), II/452; dan Ibn ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, XXII/107.
11. Al-Mishri, al-Bahr al-Raiq, II/622 dan I/470; Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Bulgah as-Salik li Aqrab al- Masalik/Hasyiyyah as-Shawi ‘ala as-Syarh as-Shaghir), (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H/1995 M), tahqiq: Muhammad Abdussalam Syahin, I/193; Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), I/199; dan Ibn ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, XVIII/207-208.
12 Al-Hashkafi, ad-Durr al-Mukhtar, I/405-406; Hasan bin ‘Ammar bin Ali as-Syurunbulali, Maraqi al-Falah Syarh Nur al- Idhah pada Hasyiyyah at-Thahawi, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H/1997 M), cetakan pertama, ed.: Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi, 241-242; Burhanuddin Abu al-Ma’ali Mahmud bin Ahmad bin Abdul Aziz ibn Mazah al-Bukhari, al-Bahr al-Muhith fi al-Fiqh an-Nu’mani, )Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2004 M], cetakan pertama, tahqiq: Abdul Karim Sami al-Jundi, V/334; Al-Mishri, al-Bahr al-Raiq , I/470; Syamsuddin Muhammad bin Muhammad/Ibn Amir Haj, Hilbah al-Mujalli wa Bughyah al-Muhtadi fi Syarh Munyah al-Mushalli wa Ghunyah al- Mubtadi, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), I/590; dan Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Ifriqi, Lisan al- ‘Arab, (Bairut: Dar Shadir, tth.), VIII/93.
13 Al-Bukhari, al-Bahr al-Muhith, V/334.
14 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-8 Tahun 1933. Selengkapnya baca: Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, 131- 132; Al-Hashkafi, ad-Durr al-Mukhtar, I/ 405-407; Muhammad Amin/Ibn ‘Abidin, Rad al-Muhtar/Hasyiyyah Ibn ‘Abidin, (Bairut: Dar al-Fikr: 1421 H/2000 M), I/406; Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain Badruddin al-‘Aini, al- Binayah Syarah al-Hidayah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1411 H/1990 M), cetakan kedua, II/140; al-Bukhari, al-Bahr al-Muhith, V/334; al-Mishri, al-Bahr al-Raiq , I/470; dan Ibn Amir Haj, Hilbah al-Mujalli, I/590.
15 Al-Hashkafi, ad-Durr al-Mukhtar, I/405-406; Ibn Amir Haj, Hilbah al-Mujalli, I/590; Al-Mishri, al-Bahr al-Raiq , I/470; Abdurrahman bin Sulaiman al-Kabuli/Syaikhi Zadah al-Hanafi, Majma’ al-Anhur fi Syarh Multaqa al-Abhur, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), ed.: Muhammad Ahmad al-Mukhtar, I/123; al-Bukhari, al-Bahr al-Muhith, I/280:
16 As-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, II/384; Ahmad bin Muhammad bin Ali ibn Hajar al-Haitami, az-Zawajir ‘an Iqtiraf al- Kabair, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), ed. Abdul Latif Hasan Abdurrahman, II/61; dan al-Haitami, al-Fatawa al-
Fiqhiyyah, I/203.
17 Abdul Wahab as-Sya’rani, Kitab al-Mizan/al-Mizan al-Kubra, (Bairut: ‘Alam al-Kutub, 1409 H/1989 M), cetakan pertama, tahqiq: Abdurrahman Umairah, I/62-63; Zainuddin bin Abdil Aziz al-Maliabari, Fathul Muin pada I’anah at- Thalibin, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), IV/218; dan Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Kitab al-Majmu’ Syarh al- Muhaddzab li as-Syairazi, (Jedah: Maktabah al-Irsyad, tth.), tahqiq: Muhammad Najib al-Muthi’i, I/79-80. 
18 Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum ad-Din, (Semarang: Toha Putera, tth.), Juz. II/321.
19 Abdurrahman bin Muhammad bin al-Husain bin Umar Ba Alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Bairut: Dar al-kutub al- ‘Ilmiyyah, tth.), 14.


Daftar Pustaka
- Ad-Dimasyqi, Muhammad Amin Abidin bin Umar Abidin bin Abdil Aziz. 1418 H/1997 M. Mihnah al- Khaliq ‘ala al-Bahr ar-Raiq pada al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq, Bairut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, ed: Zakariyyah Umairat.
- Al-‘Aini, Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain Badruddin. 1411 H/1990 M. Al- Binayah Syarah al-Hidayah, (Bairut: Dar al-Fikr,), cetakan kedua
- Al-Bukhari, Burhanuddin Abu al-Ma’ali Mahmud bin Ahmad bin Abdul Aziz ibn Mazah. 1424 H/2004 M. Al-Bahr al-Muhith fi al-Fiqh an-Nu’mani, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahqiq: Abdul Karim Sami al-Jundi,
- Al-Ghazali. Tth. Ihya ‘Ulum ad-Din, Semarang: Toha Putera.
- Al-Haitami, Ahmad bin Muhammad bin Ali ibn Hajar. Tth. Az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, ed. Abdul Latif Hasan Abdurrahman.
- Al-Haitami, Ibn Hajar. Tth. Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, Bairut: Dar al-Fikr.
- Al-Hashkafi, Muhammad bin Ali. 1386 H. Ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, Bairut: Dar al- Fikr.
- Al-Ifriqi, Muhammad bin Mukarram bin Manzhur. Tth.. Lisan al-‘Arab, Bairut: Dar Shadir.
- Al-Kabuli, Abdurrahman bin Sulaiman /Syaikhi Zadah. Tth. Majma’ al-Anhur fi Syarh Multaqa al- Abhur, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth., ed.: Muhammad Ahmad al-Mukhtar.
- Al-Maliabari, Zainuddin bin Abdil Aziz. Tth. Fathul Muin pada I’anah at-Thalibin, Bairut: Dar al-Fikr.
- Al-Mardawi, Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman. 1419 H. Al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf ‘ala Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, Bairut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi.
- Al-Mishri, Zainudddin bin Ibrahim bin Muhammad/Ibn Najim. 1418 H/1997 M. Al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama, ed: Zakariyyah Umairat.
- Al-Qurthubi, Abu al-Walid bin Muhammad bin Ahmad ibn Rusyd. Tth. Al-Muqaddimat al- Mumahhidat: Tibyan Ma Iqtadgathu Rusum al-Mudawwanah min al-Ahkam as-Syari’iyyah wa at-Tahshilat al-Muhakkamah li Ummahat al-Masailiha al-Musykilat, Bairut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, ed.: Zakariyya Umairat.
- An-Nawawi, Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf. Tth. Kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab li as-Syairazi, Jedah: Maktabah al-Irsyad, tth., tahqiq: Muhammad Najib al-Muthi’i.
- An-Nawawi, Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf. Tth. Minhaj at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Bairut: Dar al-Ma’rifah.
- An-Nawawi. Tahrir Alfazh al-Tanbih 
- As-Shabuni, Ali. Rawai’ al-Bayan.
- As-Shawi, Ahmad bin Muhammad. 1415 H/1995 M. Bulgah as-Salik li Aqrab al-Masalik/Hasyiyyah as-Shawi ‘ala as-Syarh as-Shaghir, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tahqiq: Muhammad Abdussalam Syahin.
- As-Sya’rani, Abdul Wahab. 1409 H/1989 M. Kitab al-Mizan/al-Mizan al-Kubra, Bairut: ‘Alam al- Kutub, cetakan pertama, tahqiq: Abdurrahman Umairah
- As-Syurunbulali, Hasan bin ‘Ammar bin Ali. 1418 H/1997 M. Maraqi al-Falah Syarh Nur al-Idhah pada Hasyiyyah at-Thahawi, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama, ed.: Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi.
- Ba Alawi, Abdurrahman bin Muhammad bin al-Husain bin Umar. Tth. Bughyah al-Mustarsyidin, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
- Haj, Syamsuddin Muhammad bin Muhammad/Ibn Amir. Tth. Hilbah al-Mujalli wa Bughyah al- Muhtadi fi Syarh Munyah al-Mushalli wa Ghunyah al-Mubtadi, Bairut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah.
- Ibn ‘Asyur, Muhammad at-Thahir. 1984 M. Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Tunis: ad-Dar at- Tunisiyyah.
- Ibn ‘Asyur, Muhammad at-Thahir. 2011 M. Maqashid as-Syari’ah al-Islamiyyah, Kairo-Bairut: Dar al- Kitab al-Mishri dan Dar al-Kitab al-Lubnani.
- Ibn Abidin, Muhammad Amin. 1421 H/2000 M. Rad al-Muhtar/Hasyiyyah Ibn ‘Abidin, Bairut: Dar al-Fikr.
- Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-8 Tahun 1933.
- Muhammad Khathib as-Syirbini. Tth. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, Bairut: Dar al- Fikr.

Lampiran Referensi Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan





Posting Komentar untuk "Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan"