Transaksi Dan Hukum Dalam Memancing

Salah satu bentuk akad yang dilarang adalah sewa kolam pemancingan untuk diambil ikannya. Hal ini pernah dibahas dalam Forum Muktamar Ke-9 NU di Banyuwangi pada 8 Muharram 1353 H/ 23 April 1934 M.

Pertanyaan yang mengemuka saat itu adalah, “Kalau menyewa tambak (balong) untuk mengambil ikannya dengan memancing atau menjaring, si penyewa kadang-kadang mendapat ikan banyak dan kadang-kadang tidak mendapat. Apakah menyewanya itu sah atau tidak?”

Forum muktamar saat itu menjawab, “Tidak sah menyewanya. Uang sewanya pun tidak halal karena barang itu tidak boleh menjadi hak milik dengan akad sewa.”
وَخَرَجَ بِغَيْرِ مُتَضَمِّنٍ لِاسْتِيْفَاءِ عَيْنٍ مَا تَضَمَّنَ اسْتِيْفَاؤُهَا أَيِ اسْتِئْجَارُ مَنْفَعَةٍ تَضَمَّنَ اسْتِيْفَاءَ عَيْنٍ كَاسْتِئْجَارِ الشَّاةِ لِلَبَنِهَا وَبِرْكَةٍ لِسَمَكِهَا وَشُمْعَةٍ لِوُقُوْدِهَا وَبُسْتَانٍ لِثَمْرَتِهِ فَكُلُّ ذَلِكَ لاَ يَصِحُّ. وَهَذَا مِمَّا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى وَيَقَعُ كَثِيْرًا.

Artinya, “Dan dengan kalimat, ‘Tanpa berkonsekuensi mengambil barang’ tidak termasuk pemakaian manfaat barang sewaan yang berkonsekuensi mengambil barangnya, seperti menyewa kambing untuk diperah susunya, kolam untuk diambil ikannya, lilin untuk dinyalakan dan kebun untuk dipetik buahnya. Semua itu tidak sah. Hal seperti ini termasuk fitnah yang sudah mewabah dan banyak terjadi,” (Lihat Bakri Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Singapura, Sulaiman Mar’i: tanpa catatan tahun], jilid III, halaman 114).

Umumnya praktik yang terjadi di lapangan adalah pembayaran ikan sekian kilogram oleh pemancing kepada pengelola kolam pemancingan. Ikan tersebut kemudian dilepas dikolam untuk dipancing di mana pemancing yang membeli ikan tersebut tidak sendirian karena ada pemancing lain di kolam tersebut. Dengan praktik demikian, para pemancing itu tidak menentu dalam mendapatkan hasil tersebut. Bisa jadi mereka mendapatkan sedikit, mungkin juga mendapatkan ikan lebih banyak dari yang mereka beli di samping ketidakjelasan ikan milik siapa yang mereka dapatkan. Praktik seperti ini mengandung gharar (sejenis transaksi produk gelap sifat, rupa, jumlahnya). (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 198 dan 202).

Adapun praktik lain yang terjadi di lapangan adalah pemancing mendatangi kolam pemancingan, lalu mengail ikan. Setelah selesai, hasil pancingannya ditimbang untuk mengetahui bobotnya dan kemudian dibayarkan sesuai dengan jumlah kilogram ikan tersebut. Praktik seperti ini dibolehkan karena tidak lain adalah praktik jual-beli.

Posting Komentar untuk "Transaksi Dan Hukum Dalam Memancing"