Pelangi Cinta Sang Mentari

PELANGI CINTA SANG MENTARI

Oleh Kang Ide

 

Aku benci diriku benci apa yang kumiliki selama ini, mengapa Tuhan menciptakan aku dengan segala keterpurukan fisik yang tidak mendukung untuk bisa bergaul dengan teman-teman sekitarku ya di rumah ya disekolah. Aku minder dan minder bila harus bergabung dengan anak-anak yang memiliki fisik bagus, mereka begitu mudah berbicara, bersenda gurau, bahkan bermain bersama tak jarang pula dengan bangganya memamerkan keindahan fisik.

          Mengapa aku terlahir begini, tubuhku dilapisi kulit berwarna sawo coklat tua, rambut bergelombang semi keriting, mata bulat besar, bibir seperti dua perahu kembar tebal agak besar sedangkan tubuhku alamak pasti semua orang menertawai karena semuanya serba bulat. Inikah takdirku harus menjadi manusia dengan fisik memalukan dan membuat aku tidak menyukai apapun darinya.

          Ajaran baru, sekolah baru pun di mulai dan satu hal yang paling membuat aku benci adalah harus beradaptasi dan mencari teman baru. Uhh...hal paling menakutkan buatku jika harus terkukung didalam kelas satu SMA tanpa ada seorang pun yang akan menyapa dan mengajakku berbicara yang berarti no friends no talk.

          Selama tiga hari ini aku harus mengikuti ospek yang kata orang sih biar bisa adaptasi mengenal lingkungan sekolah, saling mengenal dengan siswa baru plus bisa mengetahui bakat-bakat terpendam dan akan ada perkenalan dari berbagai kegiatan ekstrakurikuler untuk menarik minat siswa baru dari kakak-kakak kelas disekolah favorit ini.

          Bel berbunyi panjang seperti suara telepon, para siswa segera menanggalkan kegiatan menuju sebuah lapangan besar yang terletak didepan sekolah. Barisan sesuai kelasnya sudah tersusun ,terdengar suara ramai para calon baru penghuni SMA 1, saling berbicara satu sama lain saling berkenalan saling bercanda sedangkan aku ya Tuhan aku hanya diam membisu berdiri dibelakang tak tahu apa yang harus kulakukan karena aku sendiri tidak mengenal mereka, kuraskan penyakit minder dan kuper mulai kambuh.

          Semua mulut terkunci semua badan tegap tangan lurus ke bawah menggenggam ketika terdengar suara keras dari sang komandan upacara, Siappppppppp grak. Entah karena masih siswa baru dan masih punya rasa takut pada peraturan semua terdiam dan khidmat mengikuti upacara meskipun pada waktu itu sang Bapak kepala sekolah berbicara panjang lebar tentang segala tetek bengek berkaitan dengan aturan sekolah bahwa siswa itu harus bersikap begini dan begitulah hampir tiga puluh menit, huh...hal yang paling membosankan, dalam hati aku hanya bisa menggurutu sendiri “ kami sudah besar Pak meskipun saya ini memang benar-benar besar tahulah mana yang baik dan benar ”

Aduh...alamak aku nggak kuat lagi nih, mulutku terkunci saking malunya menahan sakit. Kulihat sekeliling semua seakan berputar-putar wajah Bapak kepala sekolah berjumlah tujuh rupa yang sama, kepala pening diikuti mata berkunang-kunang mungkin tadi pagi nggak sarapan pagi untuk memantapkan diet ketat agar lebih singset.

          Arkhhhh....tiba-tiba tubuhku jatuh ke tanah dan terdengar suara keras gempa bumi kecil sejenak menghentikan pidato sang Kepala Sekolah gedubruk..!!! semua mata tertuju padaku, ada yang tertawa cekikan, ada yang berkomentar kesana kemari, melihat tubuh besar ini ambruk diatas tanah.

Kulihat dari mataku menyipit setengah sadar, seorang anak perempuan berkerudung besar berwajah cantik berkulit putih mengusap keringat bercucuran dengan tisu yang dikeluarkan dari saku seragamnya sesekali memijit tangan legam ini seterusnya mati lampu deh semuanya tampak gelap dan terasa off.

Aku berdiri diujung kegelapan dengan perasaan ketakutan tak ada seorangpun disana dengan ragu-ragu melangkah menyusuri jalan sendiri semakin membuat bulu kuduk merinding. Inikah yang dinamakan kegelapan sebenarnya, aku mulai ketakutan atas apa yang telah aku hujatkan pada sang pemilik jiwa raga, perasaan bersalah menghantui atas setiap kata-kata yang telah aku lontarkan pada fisik ini. Dalam suasana sunyi sepi menyendiri di tempat segelap-gelap dunia aku berteriak dan bersujud, “ ampuni aku...,maafkan aku...,aku mengaku bersalah “ tangis pun pecah dalam ketidakpastian.

Sebuah surban putih keluar bersama cahaya dari langit, mataku menatap tajam dalam keadaan ketidakberdayaan tiba-tiba surban putih itu menyelimuti dan menarik tubuh gembul ini aku hanya bisa mengaduh, “arkhkh...ampun ya Allah!!!”

Aku terbaring kaku dalam kondisi memilukan, tanganku harus di infus, hidung harus diberi selang oksigen. Kugerakan kaki, ku buka mata perlahan-lahan melihat sekeliling semua tampak putih, apakah aku sudah berpindah dari tempat kegelapan menuju tempat kebercahayaan. Bibir tebal besar ini tersenyum ternyata aku masih hidup.

Di samping ada seorang wanita tua yang tak lain adalah ibuku tertidur pulas disebelah kasur tempat pesakitan dalam keadaan setengah duduk dengan kursi biru. Ibu tidak menyadari bahwa aku sudah sadar dengan suara terbata-bata ku memanggilnya, “ i..bu...!!!” dengan wajah kebingungan beliau bangkit dan menatap wajahku, “ kau sudah sadar tho nduk anakku sing ayu dewe”.

Kejadian yang membuat aku pingsan waktu upacara pembukaan ospek sampai harus menginap di rumah sakit membuat aku bukan malah semakin sadar atas segala kekeliruan tapi malah mengkambuhkan penyakit sepanjang masa bagiku yaitu malu dan minder. Bagaimana nanti komentar orang-orang yang melihat kejadian kemarin? nanti apa yang akan digunjingkan mereka terhadapku bahwa gadis gendut hitam berwajah jelek ini telah membuat ulah memalukan. Ih..aku makin membenci dengan keterbatasan fisik ini.

“Mona, ada telepon dari temanmu” suara ibu membuyarkan lamunanku. Apa aku nggak salah dengar ada seorang teman menelepon. Ku banting guling yang dari tadi aku dekap di atas ranjang menuju ruang keluarga. “ Assalamu’alaiukum, ini Mona ya! Gimana Mon sudah mendingan? “ suara seorang perempuan dari telepon terdengar. “Eh...ya begi..tu lah. Maaf i..ni siapa ya?”

“Namaku Mentari, yang kemarin mengelap keringatmu waktu kau pingsan” suara perempuan yang lembut itu membuyarkan atas apa yang aku risaukan. “ Jangan lupa besok masuk ya, aku tunggu lho ya, oke!“ dengan suara setengah nggak percaya ku jawab , “oo..ke. ma..kasih ya..!”

Pagi yang cerah pagi yang membuat aku bersemangat sekolah melupakan segala yang telah aku takutkan. Tepat jam 06.30 aku memasuki gerbang sekolah dengan senyum-senyum sendiri. Segerombolan siswa laki-laki menyapaku sambil bercoleteh mengejek “ Pagi ndut., orang gendut jatuhnya menakutkan seperti gempa 7 sekala righter gedubrak... ya ha ha...” aku hanya tersenyum manis pada mereka.

Kulanjutkan langkah kaki dengan Pede melewati sebuah taman sekolah ditumbuhi pohon-pohon rindang dikelilingi pot-pot bunga kamboja merah tampak ada 3 gadis cantik duduk dibangku taman sambil membawa buku, salah satu dari mereka menyelutuk tajam hatiku, “ oh..oh, ini tho si gendut buruk rupa yang menggegerkan upacara kemarin oalahdalah sudah gendut berkulit hitam pula hi hi...” Aku hanya menatap mereka dan tersenyum pahit.

          Tibalah saat yang menentukan memasuki kelas baru dengan teman yang baru. Hampir semua menatapku dengan ketidakpastian maksud terlihat dari lirikan mereka. Bel masuk berbunyi, semua langsung duduk ditempatnya masing-masing, tinggalah bangku kosong disebelah pojok belakang. Dengan perasaan tak menentu ku langkahkan kaki ini, ku duduki bangkunya dan tampaklah dimejaku sebuah tulisan dikertas HVS “Selamat datang Miss 3 G (gendut gemuk gembrot)”

          Aku benci sekolah ini, aku benci semuanya, mengapa mereka begitu jahat padaku, apa salah dan dosaku harus dihujat dan dihina seperti ini, salahkah aku hidup di dunia. Bagiku disekolah ini tak ada tempat yang aman kecuali sebuah mushola kecil tempat aku bersembunyi dari olokan, sindiran dan minder berteman.

Didalam mushola yang bernama al-Huda inilah aku duduk meratapi nasib, melihat dari jendela besar mushola para siswa lalu lalang menikmati istirahat. Tiba-tiba sebuah tepukan kecil menghampiri pundakku, “ hai Mona, kamu nggak sholat?” Ku balikkan tubuh dan terlihat seorang gadis berwajah cantik berkulit putih dengan senyum teduhnya mengenakan jilbab biru laut menyapaku. “ Ehm..anu nggak lah. Aku lagi ingin duduk disini saja.” “ ya udah, tunggu aku sholat dhuha dulu ya. Nanti kita makan dikantin sama-sama. Aku traktir deh! ” setengah nggak percaya bahwa ada seseorang yang mengajak dan mentraktirku makan. Wuih...badanku terasa ringan membumbung diangkasa kesedihanku terhapus sudah saat itu.

Dialah Mentari, siswa baru yang telah menolong dan membawaku ke rumah sakit. Dia begitu anggun, cantik, senyumnya begitu teduh, matanya begitu memancarkan cahaya, pintar, suka bergaul dan yang paling aku suka darinya adalah dia selalu menganggap aku ada sebagai manusia yang hidup didunia ini.

 Dialah sahabat paling baik yang aku temui dalam hidup ini. Aku dan Mentari mempunyai hobi yang sama yaitu gemar sekali membaca majalah-majalah dari media cetak maupun internet, bahkan diskusi bersama berbau bahasa inggris mulai dari game, fashion, isu-isu selebritis. Dari Mentari lah aku dapatkan sebuah semangat baru semangat untuk menjadi manusia yang paling unik dan show your capable.

           Sebuah pengumuman tertempel di mading sekolah bahwa akan diadakan lomba the power of teenager to present “ sebuah lomba pembuatan karya remaja dipresentasikan karyanya dihadapan para juri dan khalayak ramai yang diadakan oleh salah satu kedutaan luar negeri memperebutkan penghargaan schoolarship atau beasiswa di negeri kanguru. Dengan senyum gembira, Mentari menatapku. “ gimana?” senyumku pun mengembang dan kujawab dengan lantang, “ show time dech!”

Waktu demi waktu kami lalui dengan membaca dan membaca. Tempat yang paling sering kami kunjungi ketika istirahat adalah perpustakaan sedangkan tempat yang paling kami sukai sesudah sekolah adalah ditempat ranjangku yang empuk, karena disanalah tempat kami menjelajahi segala informasi melalui laptop plus modem. Kami makan minum, lembur mengerjakan mega karya besar didalam ruang 3x3 ini dengan tertawa, kebosanan, diskusi kecil yang terkadang membuat kami diam sesaat, bahkan sering terjadi adu mulut.

          Dalam pembuatan karya remaja, aku dan Mentari sepakat mengambil tema “free sex fever” demam pergaulan bebas. Aku yang mengumpulkan data-data dari berbagai sumber dari internet, perpustakaan, sedangkan Mentari yang menulis dan mendata di computer. Ternyata Mentari jago juga dalam pembuatan presentasi di power point dengan lihainya dia membuat animasi disertai effectnya.

          Seminggu sudah kami mengumpulkan data berupa tulisan dan video unduhan dari you tube untuk memperkaya hasil karya. Bahkan untuk mendukung karya ini kami harus rela mencari-cari referensi dengan membeli koran-koran bekas di sebuah tempat yang menjual koran kiloan berisi berita terkait. Kami pelototi satu persatu koran yang ada kami lahap mentah-mentah berita yang kami inginkan.

Hari melelahkan hari yang membahagiakan begitulah yang terjadi pada aku dan Mentari. Semuanya sudah lengkap semuanya sudah siap dan segalanya akan berbicara siapakah yang paling terbaik dalam presentasi remaja besok.

“ Mon, hal apakah yang membuat kau bahagia” suara Mentari mendadak keluar saat kami tidur-tiduran diatas kasur springbed bermerek American. Bagiku hal yang terindah adalah saat semua orang menganggap aku sebagai manusia seperti yang lainnya. Tidak ada olokan, tidak ada perbandingan, tidak ada lagi apertheid. Kalau kamu apa yang kau sukai didunia ini, tanyaku perlahan. “ hal yang membuat aku menyukai dunia ini adalah waktu. Karena waktulah yang menentukan segalanya.” “Kenapa harus waktu, Men.” Tanyaku penasaran. “karena dengan waktulah aku bisa bersama kau disini bersama sahabat terbaik” jawabnya dengan linangan air mata.

          Aku segera bangkit memandangnya penuh arti, “aku bersyukur memiliki sahabat sepertimu Men.” Mentari pun  bangkit lalu memelukku erat sekali seakan tak mau melepaskan, kubalas pula dengan dekapan erat pula. Nampak diluar terdengar suara rintik hujan menambah suasana syahdu persahabatan si cantik dan si gendut buruk rupa.

          Lomba presentasi remaja diadakan di sekolahku yang kebetulan memiliki gedung aula besar bisa menampung sekitar hampir seribu orang. Sekitar jam 07.00 pagi aku dan Mentari tiba disekolah. Tak menyangka ternyata saingan kami untuk memperebutkan beasiswa selama 6 bulan ke negeri Kanguru diikuti pula oleh berbagai sekolah lain. Dengan mantap dan keyakinan serta membaca bismillah kami melangkahkan kaki naik tangga menuju lantai atas ruang aula perlombaan.

          Semua peserta berjumlah 20 regu. Dalam pengundian kami mendapatkan nomer urut 10. Flashdisk, buletin kami persiapkan untuk mendukung penampilan. Sedangkan untuk presentasi panitia lomba sudah menyiapkan laptop, LCD, peralatan sound sistem yang mendukung acara.

Ternyata acara ini juga diliput oleh stasiun TV nasional dan lokal, tampak para crew mempersiapkan peralatan untuk meliput kejadian luar biasa nan bergengsi antar sekolah yang mampu mengharumkan nama sekolah pula.

Kami membagi tugas, Mentari sebagai operator dan aku sebagai pemeteri. Karena Mentari menganggap aku sebenarnya banyak ngomong punya daya khayal tinggi dari buku-buku komik dan majalah yang biasa aku baca sekaligus Mentari ingin menunjukan kepada semua orang bahwa orang gendut seperti aku adalah manusia yang langka punya kemampuan luar biasa.

          Semua peserta menampilkan hasil karya nya dengan bagus tak ada yang tak bagus. Bagitu canggihnya mereka mempresentasikan memakai computer seakan-akan barang mainan yang menyenangkan. Para juri dan penonton dibuat terkagum-kagum oleh penampilan remaja yang megikuti lomba ini dengan tepuk tangan meriah.

Ada salah satu peserta dari SMA negeri 2 menampilkan tema luar biasa Robotic in Action disertai animasi-animasi yang dibuat sendiri tanpa tanggung-tanggung mereka mempersembahkan sebuah karya spectakulernya berwujud nyata yaitu Robot yang didesain, diberi assesoris ala anak SMA. Robot itu diberi sensorik perintah untuk mengambil tas, membuka kotak pensil dan menulis coretan bebas di atas media yang diterjemahkan dalam LCD sehingga membuat para penonton bisa melihat di layar besar. Tepuk tangan meriah ruah mereka dapatkan setelah menampilkan hasil kehebatannya.

          Aku dan Mentari hanya bisa ambil nafas panjang mengakui kemampuan hebat peserta dari SMA 2. “ kita harus lebih hebat dari mereka, Mon! Mereka bisa kenapa kita nggak! “ ujar Mentari membisikan semangat ke telinga kananku. “Aku nggak tahu Men, tapi akan ku usahakan dengan segala kemampuan.” Jawabku dengan semangat pula. Kami pun saling tersenyum menyemangati diri sendiri.

Tibalah giliran kami, segala tetek bengek peralatan sudah kami persiapkan jauh-jauh hari. Kami ingin menampilkan sebuah presentasi yang tidak biasa karena kami adalah remaja unik berbeda dengan yang lain.

Terdengar suara MC menggema di ruang Aula. Sekarang saatnya kita tampilkan sebuah presentasi dari salah satu peserta dari sang tuan rumah sendiri yaitu dari SMA 1. Mereka adalah Ramona Cahya Insani dan Mentari Annisa Putri. Tepuk tangan riuh ramai menggelegar di setiap tempat duduk.

          Aku dan Mentari saling berpegangan tangan, mangambil nafas panjang sambil membaca doa. Dengan suara lirih kami ucapkan semboyan kami, “ I can do it, you can do it and we... can do it ”. Kami sengaja tidak langsung maju ke atas panggung tapi kami tampilkan dahulu sebuah cuplikan film durasi pendek tentang akibat pergaulan bebas.

 

 Selesai pemutaran filmnya, dari balik panggung melalui pintu masuk aku maju memasuki panggung besar dengan pakaian yang membuat semua orang menahan senyum dan bertanya-tanya dalam adegan drama pantomim yakni sebuah baju daster milik ibu waktu aku masih didalam kandungan. Besar, gombreng, dengan warna terang menyala bermotif batik pesisir didalamnya kuberi balon berisi cairan maka makin menggendutlah badan ini dan membuat para penonton dan juri pun menahan tawa.

Aku menatap mata para penonton dengan wajah sedih, ku pandangi mereka dari berbagai sudut depan, belakang, pojok kanan, pojok kiri lalu pecahlah suara tangis histeris dan mengalunlah suara musik intrumental adagio C minor menambah suasana sendu, “ I hate my self. I hate my life. There is no one care me. I am pregnant...!!! He left me. Ya Alloh. Forgive me...!!!

Dengan langkah pasti ku naiki meja lalu ku keluarkan sebuah pisau mainan dari saku samping baju daster dengan mata berkaca-kaca ku angkat pisau itu tinggi-tinggi dengan gerakan pelan dan mantap ku tusuk tubuh yang gendut ini berkali-kali sambil berkata dengan keras, “ I don’t want to life, I hate my self...!!!” dan duerr..duer...balon di dalam perut pecah, keluarlah cairan berwarna merah seperti darah dari sela-sela tubuh turun melalui selakangan. Suara kubuat serak dengan penghayatan penuh, Good bye Mom, Dad. Forgive me “ aku jatuh seperti orang mati bunuh diri.

 Tepuk tangan meriah bahkan kulihat sekilas di barisan depan beberapa ibu tersenyum kagum padaku dengan linangan air mata. Tak terkecuali Bapak kepala sekolah yang duduk didepan dengan bangga berteriak, “ Allahu akbar, hebat...”. dibagian tengah anak-anak yang biasa mengejek pun tak kalah serunya juga bertepuk tangan.

 

Aku bangkit berdiri dengan perasaan haru meskipun baju yang ku pakai basah dar adegan teatrikal tadi namun aku segera mempresentasikan karya kami di hadapan juri dan para penonton. Setelah membeberkan panjang lebar dengan tulisan, animasi dan video melalui power point. Aku menyimpulkan hasil kerja kami dengan pidato mini sedangkan Mentari bangkit dari duduknya membagikan untuk mengkampanyekan brosur kepada semua yang hadir dengan head line “ No free sex, yes better life”

Aku memulai pidato yang telah kupersiapkan sebagai pamungkas dalam karya kami. “ teman, hidup ini cuma sekali mengapa kita harus mengotorinya dengan sesuatu yang membuat kita merugi. Coba pikirkan dengan hati nurani dan logika akal, pikirkan...!!! “suaraku memekik keras menggema seanteo aula. “ Apa akibatnya jika kita melakukan hubungan bebas. Apa??? Suaraku makin sendu memecah kesunyian penonton tak terasa air mata berlinang mengalir dengan ikhlasnya menghayati ucapanku sendiri.

“ Seorang gadis akan mengandung sedangkan sang lelaki merasa kebingungan karena belum siap untuk menikah. Dan mereka pun akhirnya merencanakan sebuah pembunuhan keji pada seorang janin dari benih-benih cinta haram mereka. Disaat itulah remaja tak tahu malu itu disebut sebagai pembunuh. Membunuh hasil dari darah dagingnya sendiri.” Makin sendulah suasana aula makin terdengar suara ingus yang di lap dengan tisu di bagian tempat duduk bagian muka.

 

Semua tertunduk bisu mendengar pidatoku. “ alangkah indahnya hidup ini fren dengan cinta suci yang tidak terkotori oleh nafsu syetani. Cinta yang masih terjaga sampai kita berkeluarga nanti. Untuk seseorang yang sah dan halal untuk kita nikmati yakni sang suami atau sang istri “

Semua yang hadir termasuk ketiga juri  berdiri menatapku berdecak kagum, tepuk tanganpun bergemuruh keras menyelimuti ruangan aula. Mentari pun maju berdiri bersamaku di atas panggung. Mentari tersenyum padaku, “ Hebat kau pren. Telah kau buktikan pada dunia bahwa kau bisa.” Kilatan blitz kamera menjepret kami bergantian dari berbagai arah. Namun tiba-tiba Mentari jatuh terkulai lemas disampingku bruuk...!!!

Sudah tiga hari Mentari, sang pemberi semangat tak sadarkan diri di rumah sakit. Aku hanya bisa menatapnya penuh iba. Dia yang begitu cantik, dia yang begitu luar biasa pintar, riang dan baik harus menanggung sebuah penyakit mematikan kanker otak. 

Mengapa dia tidak pernah cerita padaku? Mengapa dia menyembunyikan semua ini dariku? Apakah dia tak ingin aku bersedih melihatnya? Apakah arti persahabatan ini jika dikala suka dan duka kita tidak lewati bersama? Tanyaku dalam hati.

 Aku masih terdiam memandangi sahabatku sang mentari hidupku. Ku pegang tangannya, kusalurkan seluruh energi hidup ini untuknya tak terasa sebuah air mata kesedihan mengalir lembut di pipi. “ Men, kau sahabatku yang paling terbaik, bersama kamu lah hidupku jadi seperti pelangi berwarna warni penuh nuansa. Bangunlah Men...!!! berilah aku warnamu agar aku bisa berarti dalam hidup ini.”

Sore yang mendung diikuti rintik-rintik hujan, sebuah bungkusan berupa kado yang telah dipersiapkan oleh Mentari di hari ulang tahun ku tepat hari ini diberikan oleh Mamanya setelah aku pulang sekolah. Katanya Mentari sudah agak baikan selama di rumah dan nanti akan meneleponku sore ini. Di sebuah kursi panjang ruang keluarga ku mulai membuka kado Mentari sambil menunggu teleponnya. Sebelum ku membuka lebih jauh isi kado telepon berdering, ku angkat dan terdengarlah suara khasnya tapi pelan, “Happy birthday pren”.  Makasih Men untuk kadonya, ini sedang aku buka jawabku dengan suka cita. “ semoga dengan kado itu kau akan bertambah cantik dan sholehah tanpa aku” suaranya kembali mengalun lirih. Met ulang tahun, Mon. Love you, n da da....

Ku tutup telepon rapat, segera ku lanjutkan membuka kado spesial dari Mentari. Sebuah jilbab besar putih bersih berserabut bunga isi dari kado itu. Apakah Mentari ingin aku memakainya seperti yang dia kenakan selama ini, agar aku menjadi pede dengan apa yang ku punyai, agar Allah lebih sayang lagi padaku, batinku penuh haru. Makasih banyak untuk hadiahnya, Men. Besok akan ku tunjukan padamu bahwa aku sudah berubah dengan memakai jilbab ini mulai hari. Makasih banyak ya Allah atas hidayah ini.

Hari minggu tepatnya jam delapan pagi aku akan mengunjungi Mentari di rumahnya dengan mengendarai sepeda motor matic membawa buah jeruk santang jeruk kecil yang rasanya manis dari negeri tirai bambu sekaligus ingin menunjukan hadiah ulang tahunnya yang telah aku pakai saat ini.

Aku tersenyum sendiri saat naik motor, berkhayal akan kata-kata yang akan di ucapkan oleh sahabatku yang cantik itu ketika melihat aku memakai jilbab putih hadiah darinya. Tapi entah mengapa perasaanku tidak enak ketika melewati sebuah belokan menuju rumah Mentari, sekelompok ibu-ibu berduyun-duyun mendekati rumah Mentari.

Aku segera memarkir motor didepan ,segera masuk menuju ruang tamu. Dan...aku tak sanggup lagi memandang dunia ini ya Allah, mulut hanya mengangga lidah membisu seribu kata ku tutupi dengan tangan kanan antara percaya dan tidak atas apa yang terjadi. Sebuah tubuh yang begitu aku kenal dengan wajah cantiknya terbungkus kain kafan diatas sebuah tempat tidur yang tak lain adalah sahabatku, Mentari. Jeruk santang yang ku bawa lepas sudah dari genggaman meluncur bebas jatuh tak beraturan dari berbagai arah. Kaki ini perlahan melangkah mendekati tubuh kaku itu, menatap tajam tak percaya. Dan tumpahlah sudah air mata laksana air terjun deras tak berkesudahan.

Ku cium ke peluk Mentari hidup ku saat akan di letakkan di pembaringan terakhir. Selamat jalan teman, makasih banyak atas segala petualangan hidup yang mengasyikan selama ini membuat aku lebih mengerti dan sadar akan indah dan berartinya hidup.

Dua tiket dan sebuah piala kemenangan dari perlombaan kemarin ku pandangi diatas meja belajar. Senyum kemenangan tersungging di liputi rasa haru menderu. Dua tiket tergenggem sudah ditangan, yang membuat aku akan terbang menuju impian bersama Mentari menjelajahi negeri kanguru. Lalu ku baca sebuah puisi yang ditulis Mentari didalam kado ulang tahun tertempel di bagian atas meja belajar

Waktu

 

Kau buat aku mengerti

Akan indahnya dunia

Seindah bersama sahabat

Menembus khayalan

Menjaring impian terbesar

Berpetualang menyibak hidup

Manis dukanya dunia

Mengerti arti paling dalam

setiap mahalnya waktu yang kulalui

bersama kau wahai sahabat terkasih

terikat karena illahi

 

Best friend forever

< Mentari + Mona>

 HALAMAN
1 2 3 4 5

Posting Komentar untuk "Pelangi Cinta Sang Mentari"