Guruku bukan syaikh Google

guruku bukan syaikh google

    Akhir-akhir ini banyak orang yang mencoba memahami ilmu agama dari membaca literatur yang ada di Google. Mesin pencari ini mampu menyediakan berbagai pengetahuan tentang agama lengkap dengan dalil dan pendapat yang berbeda. Era milineal dengan gampangnya menyediakan itu semua tanpa menghadirkan sosok seorang guru. Sehingga yang terjadi adalah munculnya “ustad gadungan”, "salah dalam memilih web" atau “persilihan pendapat yang berujung fanatik dan menganggap yang diluar kelompoknya adalah sesat”.

   Menuntut ilmu disyariatkan oleh Agama. Hukumnya wajib ain. Artinya berdosa jika dengan sengaja meninggalkan proses pencarian ilmu. Meskipun perintah ini untuk ilmu agama, tetapi semua ilmu yang mendukung sarana mendekatkan diri kepada sang Kholiq juga wajib untuk dicari.


Seperti dalam kaidah

للوسائل حكم المقاصد

    Oleh karenanya ada beberapa syarat agar ilmu yang diperoleh bermanfaat, barakah, dan memberi kemanfaatan kepada orang lain.
Dadalam sebuah syair ditetangkan syarat mencari ilmu :

اَلاَ لاَتَنَــــالُ الْعِـــلْمَ اِلاَّ بِســــــِتَّةٍ ۞ سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ELINGO DAK HASIL ILMU ANGING NEM PERKORO
BAKAL TAK CERITAAKE KUMPULE KANTI PERTELO
ذُكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ ۞ وَاِرْشَاد اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
RUPANE LIMPAT LOBO SOBAR ONO SANGUNE
LAN PIWULANGE GURU LAN SING SUWE MANGSANE

Ingatlah !!! kalian tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat kecuali dengan 6 [enam] syarat, yaitu cerdas, semangat, sabar, biaya, petunjuk ustadz dan lama waktunya.

     Diantara enam perkara itu yang menjadi sorotan bahasan saya adalah syarat nomer lima yaitu : memilih guru yang tepat.

     Memilih guru dalam proses pencarian ilmu sangat dianjurkan. Guru yang harus dicari adalah orang yang lebih ‘alim lebih wira’i (orang yang mampu menjaga dari perkara haram), dan dalam memilih guru tidak harus lebih tua usianya, waluapun seperti itu sikap ketawadlu'an san keta'dziman kepada guri harus senantiasa terjaga. dianjurkan lebih tua usianya, agar keta'dziman senantiasa terjaga. Tradisi ini senantiasa terjaga secara turun menurun. Orang tua yang akan memondokan putra putrinya selalu mencari rujukan siapa kyai yang memimpin pondok pesantren itu. Bagaimana kealiman dan kewira’ian guru (kyai) yang akan dituju. Hal ini bisa dilakukan dengan mencari informasi dan bermusyawarah dengan orang yang lebih tahu. Mengapa ini penting dilakukan karena guru akan mengantarkan manusia kembali kepada Rabnya.
لو لا المربي ما عرفت ربي
    Seandainya tidak ada guru yang mengajariku niscaya aku tidak akan pernah mengenal tuhanku.
Kesalahan mencari guru akan menjerumuskan kepada hal-hal yang dilarang oleh agama meskipun kedok yang dibangun adalah belajar agama.

    Imam Al Ghazali pernah menyampaikan dua orang yang paling ditakuti di dunia ini, pertama ulama yang tidak amanah dan dokter yang tidak menjalankan tugas dengan baik. Ulama yang tidak amanah lebih bahaya dari mereka yang tidak amanah tapi bukan dari kalangan ulama. Karena ulama memahami agama tapi tidak menjalankan agama dengan baik. Begitu juga dengan dokter yang tidak amanah, dia akan mengobati pasiennya yang justru akan membahayakan pasiennya.

     Kondisi ini berbalik dengan kondisi kekinian. Kidz zaman now atau generasi milineal lebih sering lari ke syaikhuna Google dari pada besimpuh memaknai kitab kuning dihadapan para Masyayikh. Google memang menyediakan segalanya tapi bersimpuh dengan guru tentu akan memberikan dampak yang berbeda. Setidaknya dari beberapa hal seperti berikut ini.

    Pertama, belajar dengan guru maka guru akan senantiasa mendoakan murid-muridnya. Doa guru istijabah untuk kemuliaan ilmu yang dipelajari. Sementara itu syaikh Google tidak mampu menyediakan waktu khusus dalam munajatnya untuk mendoakan pembacanya.

    Kedua, adanya ikatan batin anatara guru dengan murid. Ikatan batin tentu akan melestarikan kemuliyaaan ilmu yang dipelajari. Hadirnya guru dihadapan murid akan memberikan nuansa yang berbeda. Guru akan menjelaskan ilmu tidak hanya transfer pikiran, tetapi juga transfer rasa. Ada rasa yang dirasakan, dan guru bisa membahasakan sesuai dengan kapasitas murid yang dihadapi. Berbeda dengan Google yang tidak bisa melihat siapa yang dihadapi. Google tidak bisa mengfilter informasi yang pas dengan pembacanya. Selain itu pengguna Google tidak bisa menjalin komunikasi bathin dengan penulis yang tulisannya terunggah di Google.

   Ketiga, adanya jalur sanad kelimuan yang jelas. Dalam mencari ilmu tidak hanya proses transfer ilmu saja namun silsilah sanad kelimuan juga sangat penting
العلماء ورثة الأنبياء
Ulama' adalah pewaris nabi.
Proses tranfer Ilmu agama dari seorang guru yang bersanad sampai rosulullah, malaikat jibril dan bersambung langsung ke Sang Kholiq sudah barang tentu akan lebih megandung barokah daripada bersanad hanya pada syaikh Google.


Baca juga : Hukum belajar ilmu secara otodidak tanpa guru

   Keempat, belajar agama tentu harus bertahap. Dari yang mudah menuju hal yang lebih kompleks. Seperti yang disampaikan oleh Syair diatas, bahwa menuntut ilmu butuh waktu yang lama. Misalnya dalam ilmu fikih maka jenjangnya mulai dari mabadi al fiqhiyyah, safinatun najah, sullam at taufiiq, fathul qorib, fathul muin, fathul wahhab serta fathul-fathul lainnya. Berbeda dengan ketika kita berhadapan dengan Syaikh Google, tidak adanya kurikulum di Google seringkali pengguna tidak bisa membedakan apakah persoalan yang dihadapi itu mudah atau sulit, pada tingkat apa, bagaimana menyikapi perbedaan yang ada. Seringkali interaksi pengguna dengan Google hanya sekedarnya tanpa betul-betul mendalami apa yang sedang dipelajari.

   Kelima, Tidak ada pemilahan dalam pembahasan dalam bahasa arabnya talfiq. Belajar dengan guru juga tentunya akan dikenalkan dengan yang namanya khilafiyyah namun dijelaskan secara utuh klasifikasinya serta batasan-batasannya, sehingga khilaf tersebut masih aman tidak campur baur yang akhirnya tidak bisa dibedakan sesuai batasan batasan yang ada. Berbeda dengan browsing di syaikh Google maka informasi akan campur dan tidak ada sekat pembatasnya, sehingga pembaca akan lebih cenderung memilih pendapat yang menguntungkan baginya walaupun secara hukum sudah keluar dari jalur rel yang telah disepakati Ulama' tanpa ia sadari.

Baca juga : Hukum mencampur adukkan pendapat / Talfiq

   Kelima hal tersebut hanyalah sedikit dari pertimbangan betapa pentingnya menuntut ilmu dengan guru. Selain itu berguru langsung juga mendapati teman yang banyak. Teman seperguruan dapat membantu kesulitan selama menuntut ilmu. Teman yang baik akan mengantarkan kejalan yang benar. Begitu sebaliknya, teman yang tidak benar akan mengantarkan pada kemungkaran.
Akhirnya, mencari ilmu adalah pekerjaan yang mulia dan agung yang tentu akan banyak ditemukan kesulitan dan rintangan. Tapi atas petunjuk Allah SWT semua itu akan terlewati dengan baik. Oleh karenanya mencari ilmu dengan diikhtiarkan terlebih dahulu mencari guru yang ‘alim dan wira’i adalah hal yang penting. Diera milineal informasi yang disediakan di Google bukan tidak penting, tapi menjadikan rujukan Google tanpa menghadirkan sosok Guru sungguh akan menjerumuskan pencari ilmu itu sendiri.

Semoga kita, Guru-guru kita, orang tua kita, saudara-saudara kita, teman-teman kita, senantiasa mendapatkan maghfiroh dari Allah swt. Aamiin.

Madiun, 12 Oktober 2018.

Posting Komentar untuk "Guruku bukan syaikh Google"