Dalam kitab shohih bukhori dengan
nomor hadits 3467 dijelaskan bahwa seorang pelacur diampuni dosa zinanya sebab
dia memberi minuman pada anjing yang hampir mati karena kehausan.
Lengkap teks haditsnya :
صحيح
بخاري
٣٤٦٧
- حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ تَلِيدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي جَرِيرُ بْنُ
حَازِمٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ، كَادَ يَقْتُلُهُ العَطَشُ، إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي
إِسْرَائِيلَ، فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا
بِهِ»[تعليق مصطفى البغا]
٣٢٨٠
(٣/١٢٧٩) -[ ش أخرجه مسلم
في السلام باب فضل ساقي البهائم المحترمة وإطعامها رقم ٢٢٤٥.
(بغي)
زانية. (موقها) ما يلبس فوق الخف. (فغفر لها) ما سبق منها من الزنا.
(به) بسبب سقيها له]
[٣١٤٣]
Sedangkan disisi lain ada hadits pula yag oleh
imam bukhori diriwayatkan bahwa seorang perempuan masuk neraka dikarenakan
mengururung seekor kucing dan tidak memberi makan kucing tersebut hingga ia
mati, dengan nomer hadits 2364, teks lengkap haditsnya :
صحيح
بخاري
٣٣١٨
- حَدَّثَنَا
نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الأَعْلَى، حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «دَخَلَتِ
امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ رَبَطَتْهَا، فَلَمْ
تُطْعِمْهَا، وَلَمْ تَدَعْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ»
قَالَ:
وَحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ سَعِيدٍ المَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar dari
Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: "Seorang wanita
masuk Neraka karena seekor kucing yang diikatnya. Dia tidak memberinya makan
dan tidak membiarkannya makan serangga bumi, hingga kemudian mati".
Dalam riwayat imam Bukhari, "Seorang wanita
disiksa karena seekor kucing yang dia kurung sampai mati. Dia masuk Neraka
karenanya. Dia tidak memberinyamakan dan minum sewaktu. Mengurungnya. Dia tidak
pula membiarkannya dia makan serangga bumi hinga kemudian mati".
Lantas dari dua hadits diatas jangan langsung
kita maknai amal adalah penentu surga dan neraka.
Dan nanti akan menyimpulkan: "Surga dibawah
telapak kaki anjing dan neraka dibawah telapak kaki kucing."
Menyikapi dua hadits diatas tentang amal yang
dilakukan di dunia, ada sedikit dialog nabi dengan para sahabatnya:
لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا
أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا
إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ سَدِّدُوا
وَقَارِبُوا وَاغْدُوا وَرُوحُوا وَشَيْءٌ مِنْ الدُّلْجَةِ وَالْقَصْدَ
الْقَصْدَ تَبْلُغُوا
“Amal tidak akan bisa menyelamatkan seseorang di
antara kalian.” Mereka bertanya: “Tidak pula anda wahai Rasulullah saw?” Beliau
menjawab: “Ya, saya pun tidak, kecuali Allah menganugerahkan rahmat kepadaku.
Tepatlah kalian, mendekatlah, beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit
dari malam, beramallah yang pertengahan, yang pertengahan, kalian pasti akan
sampai.” (Hr Bukhari).
لاَ
يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ
وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
Amal tidak akan memasukkan seseorang di antara
kalian ke surga dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka. Demikian juga
saya, kecuali dengan rahmat Allah swt.
Dari sini muncul diskusi di kalangan para ulama
terkait hadits di atas: "benarkah masuk surga itu bukan karena amal?"
Jika demikian apa gunanya amal kita? Bagaimana
pula kaitannya dengan firman-firman Allah swt berikut : “Masuklah kamu ke dalam
surga itu disebabkan apa yang telah kamu amalkan”. (QS. An-Nahl [16] : 32). Dan
diserukan kepada mereka: “Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa
yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7] : 43. Ayat semisal terdapat juga
dalam QS. Az-Zukhruf [43] : 72).
Satu hal saja yang harus dicatat, semua ulama
hadits tidak ada yang menyatakan bahwa hadits di atas bertentangan dengan
ayat-ayat tersebut. Semuanya menempuh metode jam’i (menyatukan, mengompromikan)
karena memang hadits di atas jelas keshahihannya. Sebuah pertanda juga bahwa
hadits yang shahih haram ditolak meskipun tampaknya bertentangan dengan
al-Qur`an. Sedapat mungkin carikan komprominya, karena tidak mungkin Nabi saw
menentang al-Qur`an. Dan itulah yang ditempuh oleh para ulama hadits
sebagaimana akan diuraikan berikut ini:
1. Imam Ibn Bathal, sebagaimana dikutip Ibn Hajar
dalam Fath al-Bari, menjelaskan bahwa surga itu ada beberapa tingkatan.
Ayat-ayat yang menjelaskan masuk surga karena amal, itu maksudnya adalah
menempati tingkatan-tingkatannya itu. Sementara masuk surganya sendiri, itu
mutlak hanya berdasarkan rahmat Allah swt. Jadi, dengan rahmat Allah swt,
seseorang ditentukan masuk surga dan tidaknya. Sesudah ada keputusan masuk
surga, maka ketentuan masuk surga tingkatan yang mananya itu ditentukan
berdasarkan amal.
Selanjutnya, Ibn Bathal menjelaskan, bisa juga
maksud dari ayat-ayat dan hadits di atas adalah saling menguatkan. Artinya,
masuk surga itu tergantung rahmat Allah swt juga amal-amal kita. Demikian juga,
penentuan tingkatan yang mananya di dalam surga itu tergantung rahmat Allah swt
dan amal-amal kita.
2. Imam al-Karmani, Jamaluddin ibn as-Syaikh, dan
Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa huruf ‘ba’ pada ayat-ayat di atas bukan
bermakna sebab (sababiyyah), melainkan bersamaan (ilshaq, mushahabah). Jadi
bukan berarti masuk surga itu dengan sebab amal, melainkan masuk surga itu
bersamaan adanya amal, karena sebab yang paling utamanya adalah rahmat Allah
swt. Ini berarti bisa membantah pendapat Jabariyyah yang menyatakan bahwa masuk
surga itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan amal, melainkan mutlak hanya
rahmat Allah swt saja. Juga membantah pendapat Qadariyyah yang menyatakan bahwa
masuk surga itu murni karena amal saja, tidak ada kaitannya dengan rahmat Allah
swt.
3. Imam Ibn Hajar memberikan penjelasan yang
sedikit berbeda. Amal seseorang walau bagaimanapun tidak mungkin menyebabkannya
masuk surga jika pada kenyataannya amal itu tidak diterima oleh Allah swt. Nah,
persoalan amal itu diterima atau tidaknya, ini jelas wewenang Allah swt, dan
ini mutlak berdasarkan rahmat Allah swt (semua pendapat ulama di atas dikutip
dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal).
Bicara tentang surga dan neraka memang bukan
wilayah kita, apalagi sampai mengklaim bahwa seseorang yang bersyahadat namun
diluar kelompokkan dianggap kafir dan masuk neraka.
Kita diciptakan didunia tidak lain hanyalah
diperintahkan untuk mengabdi dan menyembah kepadaNya tanpa memperhitungkan
seberapa banyak amal yang kita kerjakan karena jika kita mau membandingkan
antara nikmat yang diberikan Allah kepada kita dengan amal yang kita lakukan
maka tidak akan ada bandingannya, masih banyak nikmat Allah yang diberikan
kepada kita. Jadi sebenarnya kita tidak pantas untuk mengharapkan surgaNYA
hanya dengan amal yang kita lakukan. Hanya ridlonya Allah sajalah yang pantas
kita harapkan.
Satu atau dua ayat Al qur'an dan as sunnah belum
cukup bagi kita untuk membuat pijakan dalam merumuskan sebuah hukum dan
menyelesaikan masalah tanpa adanya perantara yang lain.
Masa kita dengan nabi itu ada 14 abad dan
tentunya itu masa yang tidak sebentar, sehingga untuk memahami satu hadits saja
butuh beberapa aspek diantara jalan yang bisa kita tempuh yaitu dengan jalan
belajar kepada guru-guru kita yang sanad keilmuannya jika diruntut sampai
kepada nabi, bukan langsung membuka al qur'an atau hadits lalu megambil
maknanya sesuai tekstualnya, apalagi cuma bermodal terjemah .... He he he
peace...
Maka kembali kepada Al qur'an dan hadits itu akan
salah kaprah jika tanpa mengikuti tafsir dari para sahabat dan ulama' salaf
karena merekalah yang bertemu langsung dengan nabi dan tau persis kondisi pada
saat itu (as babun nuzul dan asbabul wurud).
Mencukupkan diri dengan hanya bermodal terjemah
lalu sudah memproklamirkan produk hukum lantas menyalahkan orang lain apakah
itu yang diajarkan nabi dan ulama' salaf?
Apakah hukum yang dirumuskan dengan modal
terjemah itu lebih hebat dibandingkan hukum-hukum yang terdapat didalam kitab
turots karya-karya ulama' salaf ?
lantas dengan modal terjemah pula, kita merasa
lebih pandai dibanding imam madzhab sehingga berani memberi penilaian bahkan
mentarjih bahwa madzhab A itu lemah, madzhab B itu tidak relevan, madzhab C itu
hadis yg dipakai adalah dhoif ?
Begitu hebatnya teremah dimata kita ....
Terjemah tidak lain hanya secuil ilmu yang
membatu kita untuk memahami bahasa arab, bukan satu-satunya alat yang digunakan
untuk merumuskan hukum islam yang berasal dari arab
Semoga dengan secarik coretan ini, bisa membuka
cakrawala yang lebih luas, dan mau menelaah kembali karya-karya ulama' salaf.
Tetap eksis dan istiqomah dalam tholabul ilmi demi menambah khazanah ilmiyah
serta menjaga ajaran Ahlus sunnah wal jama'ah.
Mlaten, 30 Juni 2018
Posting Komentar untuk "Surga dibawah telapak kaki anjing"