Langgar Para Pendekar 3

Islam nusantara pendekar pencak silat, Islam nusantara pendekar pencak silat cerita
Oleh: Tri Handoyo

Bab 1

Warung ayam bakar di seberang jalan Langar Al Akbar itu belum buka, kendati pun demikian, sudah ada beberapa orang yang datang. Mereka berdiri di depan halaman warung sambil berbincang-bincang.

Sekitar lima meter dari warung, tampak seorang kakek, duduk bersandar pada sebuah pohon besar. Pakaiannya tampak sedikit kumal. Rambut panjangnya yang putih tulang tidak terpelihara, ditutupi caping petani. Tubuhnya jangkung dan kekar, akan tetapi melihat wajah dan sorot matanya yang sayu, tampak bagaikan seorang pengembara yang tengah putus asa.

Di seberang jalan, seorang lelaki penunggang kuda yang berada di halaman langar sedang mengikatkan kudanya pada pagar. Tidak ada yang bisa memastikan sejak kapan ia berada di tempat itu, tapi ia datang lebih awal dari orang-orang yang sedang antri di depan warung. Wajahnya cukup bersih, tapi ditumbuhi kumis dan jenggot lebat. Rambutnya yang Panjang digelung ke atas. Pakaiannya yang sederhana tidak mampu menyembunyikan tubuhnya yang kekar berisi dan tampak gagah ketika berjalan. Ia kemudian menyeberang jalan, tampaknya akan menghampiri si kakek pengembara.

Beberapa saat kemudian lelaki brewokan itu mencabut pedang dan tiba-tiba menyerang kakek pengembara secepat kilat. Kekek itu sangat kaget. Jelas sekali bahwa penyerangnya itu memiliki ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang lumayan tinggi. Melihat cara dia menyerang, tusukan pedangnya sangat gesit dan tidak boleh dianggap ringan.

Kakek yang ternyata kedua tangannya buntung sebatas siku itu memasang kuda-kuda dan melayani lawannya dengan tak kalah gesitnya. Pada saat dia melihat lelaki itu menusuk ke arah dada dengan tusukan yang deras, dia cepat-cepat menggerakkan baju lengannya menangkis dari bawah ke atas, dan kakinya melayang ke depan mengirim tendangan balasan.

Lelaki brewokan itu berseru kagum karena merasa betapa lengan kanannya tergetar menerima tangkisan lengan baju, dan dengan kecepatan luar biasa tangan kirinya membentengi perut dari tendangan kaki beruntun si kakek.

Suasana pagi yang tadinya damai itu kini menjadi ramai. Perkelahian dua orang asing itu segera memancing kerumunan. Sekelompok anak-anak yang sedang belajar membaca Al Qur’an di dalam langgar pun berhamburan keluar, menonton pertandingan sengit itu.

Mbah Kucing, si guru mengaji, tampak dengan sabar menggiring murid-murid kecilnya agar kembali masuk ke dalam langgar. “Ayo segera masuk anak-anak.., gak baik lihat orang berkelahi!”

“Gak apa-apa, Mbah,” celetuk salah seorang anak tanpa mengalihkan pandangannya dari pertempuran sengit yang menarik itu, “Jangan takut, saya akan menjaga dan melindungi Mbah Guru!”

“Den Ali masih kecil,” timpal Mbah Kucing, “Apa mampu melindungi Mbah dari orang-orang jahat itu?”

“Jangan kuatir Mbah!” jawab anak tersebut begitu penuh percaya dirinya. Nada suaranya yang polos itu terdengar lucu, tidak ada kesan menyombongkan diri.

Mbah Kucing hanya mampu menghela nafas pelan. Dia tahu betul bahwa anak yang baru berumur sembilan tahun itu memang anak yang istimewa.

Saat itu lelaki brewokan memutar pedangnya mengejar ke arah lawan, sedangkan kedua kakinya dengan gesit berlari hingga tanah dan kerikil berhamburan laksana dihempas badai puting beliung, dan meninggalkan bekas sepatu yang cukup dalam di tanah. la betul-betul mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghabisi lawannya.

Sang kakek bercaping petani dengan siggap menggerakkan lengan bajunya dan menangkis. Secara cepat dan melancarkan tendangan bertenaga dalam tinggi. Namun diam-diam dia harus mengakui bahwa lelaki muda lawannya itu benar-benar memiliki kepandaian yang luar biasa.

“Kau memang bajingan yang hebat!” seru lelaki brewokan itu memuji, sambil pedang di tangannya itu menerjang dengan bertubi-tubi dari segala arah. Depan, atas dan samping. Lelaki itu telah mengeluarkan ilmu silat paling hebat dari semua pelajaran yang dimilikinya.

Kakek pengembara itu tercengang menghadapi serangan hebat itu. Pedang di tangan lawannya itu menyambar-nyambar laksana kilat yang mengamuk. Kakek itu benar-benar menemui lawan yang sangat tangguh. Dia terus terdesak oleh serangan yang dilakukan dengan kecepatan yang sangat luar biasa dan beberapa kali ujung pedang lawan telah berhasil menggores kulitnya. Itu artinya gerakannya kalah cepat.

Dengan keringat bercucuran dan nafas terengah-engah, kakek bermata sayu itu dengan nekad melindungi dadanya dari tusukan pedang dengan mengorbankan kedua lengan buntungnya yang disilangkan di depan dada. Pedang itu menembus kedua lengan tanpa ampun. Jerit kesakitan tampak tertahan dari mulutnya yang keriput. Darah muncrat membasahi tanah.

Tiba-tiba ada serangan kilat yang membuat lelaki brewokan itu mundur dan pedang yang masih menancap di lengan lawan itu terlepas dari genggamannya. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa orang yang mendorongnya mundur itu ternyata seorang anak kecil. Matanya melotot seolah tidak percaya.

“Paman, kasihanilah kakek tua ini!” seru anak kecil itu dengan sikap lugunya, berdiri melindungi sang kakek yang tampak sangat kesakitan. “Dia orang tua dan cacat!”

“Hei bocah lancang! Sialan!” bentak lelaki brewokan dengan suaranya yang berat dan menakutkan, “Dia adalah seorang penjahat besar tahu! Minggir atau kau akan ku tampar!”

“Raden Ali!” panggil Mbah Kucing dari halaman langgar, “Kalau Raden berkelahi nanti dihukum lagi sama ayahmu!”

“Tapi aku harus membela orang lemah dan memerlukan pertolongan, Mbah Guru!” jawab Den Ali, “Bukankah Mbah juga pernah bilang begitu?”

“Anak siapa yang sangat kurang ajar ini?” tanya lelaki brewokan sambil mengarahkan pandangannya kepada Mbah Kucing dengan sorot mata tajam.

“Mohon maaf Tuan Pendekar!” kata Mbah Kucing gugup, “Ibu Raden Ali ini dikenal orang dengan sebutan Pendekar Naga Jelita, sedangkan ayahnya dikenal dengan sebutan Pendekar Pedang Akhirat!”

Lelaki brewokan itu seketika merasakan lututnya gemetar. Kedua orang yang namanya disebut Mbah Kucing itu adalah tokoh papan atas di dunia persilatan belakangan ini. Bagaimana pun juga dia merasa khawatir kalau sampai menimbulkan bibit permusuhan dengan kedua pendekar yang sangat sakti itu.

Lelaki brewokan yang memiliki nama Arya Dewandaru itu sebetulnya adalah Komandan Pasukan Alap-alap Kerajaan Daha. Pasukan rahasia yang terdiri dari para Bayangkara muda yang punya tugas mengintai keberadaan musuh besar kerajaan. Mereka punya tugas-tugas khusus, bagian intelijen, bagian penyelamatan, dan bagian penangkapan.

Yang menarik, di dalam menjalankan tugas, mereka selalu menyamar. Kadang menyamar sebagai pedagang sayur, petani, kusir, pedagang keliling mainan anak-anak dan bahkan menjadi gelandangan atau orang gila, dan lain sebagainya. Mereka adalah manusia bayangan yang keberadaannya bahkan tidak diketahui oleh tantara sekalipun, sebab agar misi berhasil, penyamaran harus sesempurna mungkin. Kerajaan mengeluarkan biaya sangat besar untuk setiap misi yang mereka lakukan, demi keselamatan kerajaan.

Di samping menjalankan tugas kerajaan, Dewandaru sebetulnya punya dendam pribadi kepada kakek bertangan buntung itu. Oleh karena itu, meskipun kerajaan Daha telah dikalahkan oleh Kerajaan Demak dan telah lenyap dari muka bumi, namun misi untuk melampiaskan dendam itu belum selesai.

Lima belas tahun yang lalu, ayah Arya Dewandaru, Juru Pangalasan, pembesar yang membawahi sebuah daerah yang bergelar Rakryan, tewas dibunuh oleh kelompok perampok Tapak Petir. Saat itu Dewandaru baru berumur sebelas tahun.

Kakek berlengan buntung itulah Joko Petir yang dijuluki Pendekar Tapak Petir. Ia memimpin serangkaian perampokan dan pembunuhan dalam kurun waktu selama tiga puluh tahun lebih. Ia pun menjadi buronan kerajaan kelas wahid. Setelah Kerajaan Daha bubar, ia mengira sudah merasa aman dalam pelariannya.

Kelompok perampok elit itu berjumlah lima orang, tapi satu per satu anggotanya sudah tewas. Tinggal sang ketua, yang selalu berhasil lolos. Selama dalam pelarian dia memang selalu pindah-pindah, dari satu kota ke kota lainnya, menyamar dan menggunakan nama baru.


Waktu serangkaian perampokan dan pembunuhan dilakukan, umurnya baru dua puluh dua tahun. Sekarang Pendekar Tapak Petir sudah berumur lima puluh tahun lebih.

Dia berasal dari sebuah desa kecil di Kota Surakarta. Waktu kecil dia menyaksikan bapaknya dihajar massa karena tertangkap mencuri. Bapaknya hanya mencuri singkong untuk menghidupi keluarganya yang kelaparan, tapi dihakimi massa hingga sakit parah dan beberapa hari kemudian meninggal dunia.

Peristiwa yang menyakitkan itu membuat Si Joko kecil berjanji dalam hati bahwa kelak dia ingin menjadi seorang penjahat sakti agar mampu menandingi orang-orang yang akan menangkapnya. Cita-citanya itu benar-benar terkabul. Tapi ia hanya merampok khusus kaum bangsawan dan orang-orang kaya.

Suatu hari dia dan kawanannya kena batunya. Yakni saat tiba di kota Jombang, kota kecil sebelah barat Mojokerto, sekitar tujuh jam berkuda dari pusat pemerintahan di Trowulan. Saat itu dia berniat merampok kitab dan pedang pusaka milik Padepokan Benteng Nusantara. Dia kemudian berhasil dikalahkan oleh Lintang Kicak, dan akhirnya menerima hukuman potong lengan sebatas siku.

Sejak kejadian itu kelompok perampok Tapak Petir tidak lagi terdengar aksinya. Mungkin mereka membubarkan diri karena menyadari bahwa kemampuan mereka untuk bertarung tidak sehebat dulu lagi.

Sehari sebelumnya Joko Petir terlihat berjalan di Ringin Contong. Pagi itu dia terlihat lagi lewat di sekitar Langgar Al Akbar. Arya Dewandaru diam-diam membuntutinya dari jauh. Joko Petir istirahat di langgar. Dewandaru pun ikut istirahat di langgar. Jarak mereka kian dekat.

Ketika Dewandaru menyapanya dan mencoba mengajak berkenalan, Joko Petir tampak berusaha menyingkir.

“Maaf, apa kakek bernama Joko Petir?” tanya Dewandaru tanpa basa-basi lagi.

“Saya bukan Joko Petir!” jawab kakek itu cepat, “Nama saya Surono!”

“Apa yang terjadi dengan lengan anda?” kejar Dewandaru, “Kalau saya boleh tahu?”

“Kenapa Kisanak ingin tahu?”

“Sebetulnya saya sedang mencari sahabat romo saya yang bernama Joko Petir! Saya mau menyampaikan titipan dari romo buat beliau! Anda memiliki ciri-ciri yang sama dengan sahabat romo saya!”

Kakek berlengan buntung itu sejenak tertegun dan mengamati wajah lelaki brewok di depannya itu dengan penuh kecurigaan. “Tapi saya bukan Joko Petir. Saya tidak kenal orang bernama Joko Petir!” ujarnya dan hendak menyeberang jalan menuju ke warung yang masih tutup.

“Sebentar Ki Suyono!”

“Ada apa lagi?”

Arya Dewandaru diam beberapa saat seolah sedang berpikir keras. “Ki Suyono berasal dari mana?”

“Saya dari Jombang sini saja!”

“Maaf, anda tadi bilang bernama Surono atau Suyono?”

“Suyono!”

Kini Arya Dewandaru menatap Den Ali dengan sorot mata penuh kegeraman. “Dengar ya, Nak! Orang tua itu adalah penjahat besar!”

“Dia salah orang!” sahut Joko Petir cepat, “Saya Sumo, bukan Joko Petir.

“Nah, paman salah orang! Paman sudah melakukan kesalahan besar!” seru Den Ali ketus.

Dewandaru menarik nafas Panjang. “Baiklah, saya menghormati orang tuamu. Saya mau pergi, tapi saya mau mengambil pedang saya!”

Joko Petir lega mendengar itu. Ia tidak menyangkah nyawanya telah diselamatkan oleh seorang bocah kecil, anak orang yang telah membuat kedua tangannya buntung.

bersambung

Posting Komentar untuk "Langgar Para Pendekar 3"