Makanan Untuk Pentakziyah Orang Meninggal


Salah satu persoalan yang sering menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam adalah memberi makanan untuk orang yang takziyah. Sebagian orang, misalnya dari kelompok yang menamakan diri mereka penganut Manhaj Salaf secara tegas mengatakan bahwa seluruh ulama salaf melarang menghidangkan makanan kepada orang-orang yang bertakziyah. Dengan ungkapan semacam itu mereka menghukumi haram makanan yang disuguhkan. Kalangan awam yang tidak memiliki dasar-dasar pemahaman agama yang baik pun pada akhirnya terpangaruh oleh fatwa mereka itu sehingga ikut-ikutan mengharamkan suguhan pada waktu takziyah, sekalipun yang disuguhkan itu hanya sebiji permen atau segelas air mineral.



Pada bagian ini penulis merasa perlu untuk mendudukkan persoalan ini secara proporsional. Memang telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai suguhan makanan untuk orang-orang yang takziyah. Namun jika dikatakan bahwa seluruh ulama salaf melarang, tentu saja hal itu tidak benar. Di antara para ulama ada yang membolehkannya atas dasar dalil-dalil berikut ini:


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاًَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ


“Dari Abdullah bin Amr ra, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam manakah yang paling baik?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal.” (HR Imam Bukhari).


Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa memberi makan kepada orang lain adalah salah satu perbuatan yang sangat baik di dalam ajaran Islam. Di sini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan waktunya. Hal ini bersifat umum. Kapan pun Anda mau memberi makan kepada orang lain, itu adalah perbuatan baik, termasuk saat Anda tertimpa musibah atau kala berduka karena salah seorang dari orang yang Anda kasihi meninggal dunia.


Bahkan ada pula dalil lainnya yang menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diundang oleh seorang wanita yang suaminya baru saja selesai dimakamkan, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi undangan tersebut. Begitu sampai di rumah si wanita, ternyata telah disiapkan hidangan makanan di dalamnya. Simaklah hadits berikut ini:


عَنْ ‏عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ، ‏عَنْ ‏أَبِيْهِ، ‏عَنْ ‏رَجُلٍ ‏مِنَ‏ ‏اْلأَنْصَارِ‏ ‏قَالَ: ‏خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏فِي جَنَازَةٍ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوْصِي الْحَافِرَ، أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ، فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ، فَجَاءَ وَجِيْءَ بِالطَّعَامِ، فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوْا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُوْلَ اللهِ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَلُوْكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ: أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا، فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّيْ أَرْسَلْتُ إِلَى ‏الْبَقِيعِ، ‏ ‏يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا، فَلَمْ يُوجَدْ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‏‏أَطْعِمِيْهِ الْأُسَارَى ‏


“Dari Ashim bin Kulayb, dari ayahnya, dari salah seorang shahabat Anshar, ia berkata, “Saya pernah melayat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu saya melihat beliau menasihati penggali kubur seraya berkata, “Luaskan bagian kaki dan kepalanya.” Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang, beliau diundang oleh seorang perempuan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi undangannya dan saya ikut bersama beliau. Ketika beliau datang, lalu makanan pun dihidangkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai makan lalu diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah makanan tersebut, beliau bersabda, “Aku merasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin pemiliknya.” Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Ya Rasul, saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi’ (suatu tempat penjualan kambing), untuk membeli kambing, tapi tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya untuk menemui tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi dia tidak ada. Maka saya menyuruh menemui istrinya dan ia pun mengirim kambingnya kepada saya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Berikan makanan ini kepada para tawanan.” (HR Imam Abu Dawud).


Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah; disebutkan oleh Syekh al-Kirmani dalam Syarh al-Hadits al-Arba’in, halaman 315; Syekh Ibrahim al-Halabi dalam Munyah al-Mushalli, halaman 131; Syekh Abu Said dalam al-Bariqah al-Muhammadiyyah, Juz 3, halaman 252.


Kata دَاعِي امْرَأَةٍ yang digunakan dalam hadits riwayat Abu Dawud ini sepintas memberi pemahaman bahwa yang mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bukan istri si mayit, tapi wanita lain. Namun dalam kitab ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud yang dikutip dari kitab al-Misykat disebutkan sebagai berikut:


داعي امرأة ... وَفِي الْمِشْكَاِة دَاعِي امْرَأَتِهِ بِاْلإِضَافَةِ إِلَى الضَّمِيْرِ، قال اْلقَارِي، أَيْ زَوْجَةُ الْمُتَوَفَّي -- عون المعبود: ج ٩ ص ١٢٩


داعي امرأة …. Dalam kitab al-Misykat redaksi yang digunakan دَاعِي امْرَأَتِهِ dengan dimudhafkan kepada dhamir (kata ganti). Al-Qari berkata, yang dimaksud adalah istri yang meninggal.[1]


Berdasarkan keterangan di atas, hadits tersebut sesungguhnya memberikan informasi kepada kita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang oleh keluarga si mayit, yaitu istri dari si mayit yang baru saja dimakamkan. Atas undangan tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para shahabat berkumpul di rumah duka dan memakan hidangan yang disuguhkan. Tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar makanan tersebut diberikan saja kepada para tawanan tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan makanan yang disuguhkan kepada para pentakziyah. Kalau seandainya makanan itu dihukumi haram, tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan untuk diberikan kepada para tawanan, karena beliau tidak mungkin memerintahkan orang lain memakan sesuatu yang diharamkan.


Syekh Muhammad Ali al-Maliki mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh memberikan makanan kepada para tawanan karena orang yang akan dimintai ridhanya atas daging itu belum ditemukan, sedangkan makanan itu dikhawatirkan akan segera basi. Maka sudah semestinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan makanan tersebut kepada para tawanan. Dan istri si mayit pun telah mengganti harga kambing yang disuguhkan tersebut. (Bulugh al-Umniyyah, halaman 219).


Berdasarkan hadits ini pula, Syekh Ibrahim al-Halabi menyatakan bahwa keluarga mayit boleh menyediakan makanan dan memanggil orang lain untuk berkumpul di rumahnya guna menyantap makanan tersebut. Beliau berkata:


فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ وَضْعِ أَهْلِ الْمَيِّتِ الطَّعَّامَ وَالدَّعْوَةِ إِلَيْهِ وَإِنِ اتَّخَذَ وَلِيُّ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِلْفُقَرَاءِ كَانَ حَسَنًا إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِي الْوَرَثَةِ صَغِيْرٌ فَلاَ يُتَّخَذُ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ


“Hadits ini menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan kepada fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisnya ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.” (al-Bariqah al-Muhammadiyyah, Juz 3, halaman 235).


Mari kita simak dalil berikutnya:


عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ


“Dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa bila ada orang dari keluarganya (Aisyah) yang meninggal maka para wanita pun berkumpul, kemudian mereka pergi kecuali keluarganya dan orang-orang terdekat. Lalu (Aisyah) memerintahkan untuk mengambil periuk yang terbuat dari batu dan diisi dengan talbinah (makanan terbuat dari tepung dan kurma), lalu dimasaklah makanan tersebut, kemudian dibuat bubur dan dituangkanlah makanan tersebut di atasnya. Lalu (Aisyah) berkata, “Makanlah ia, karena sungguh saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanan yang terbuat dari tepung dan kurma tersebut (talbinah) merupakan  penyejuk bagi hati yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian kesedihan.” (HR Imam Muslim).


Hadits ini menjelaskan bahwa Sayyidah Aisyah ra, apabila ada keluarganya yang meninggal dunia, maka beliau menghidangkan makanan, yakni talbinah, untuk orang-orang yang datang melayat ke rumah duka.


Mari kita perhatikan lagi dalil selanjutnya:


عَنِ اْلأَحْنَافِ بْنِ قَيْسٍِ قَالَ: كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍِ فِيْ بَابٍِ إِلاَّ دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ، فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَأَمَرَ سُهَيْبًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا، وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَامًا. فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ، جَاؤُوْا، وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ. فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُوْ بَكْرٍِ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ، كُلُوْا مِنْ هَذَ الطَّعَامِ، فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاس أَيْدِيَهُمْ فَأَكَلُوْا، فَعَرَفْتُ تَأْوِيْلَ قَوْلِهِ


“Dari Ahnaf bin Qais, berkata, “Aku mendengar Umar berkata, “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam shalat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Muthalib ra datang dan berkata, “Wahai manusia, dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, lalu kita makan dan minum sesudahnya. Lalu Abu Bakar ra wafat, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya untuk dimakan. Aku baru mengerti maksud perkataan Umar tersebut.” (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, Juz 5, halaman 328 dan al-Hafizh al-Bushiri dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah, Juz 3, halaman 289).


Riwayat di atas menyebutkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra mewasiatkan agar disediakan makanan bagi mereka yang bertakziyah.


Dua hadits tersebut di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga yang sedang berduka cita kepada orang-orang yang datang takziyah tidaklah diharamkan, sebagaimana ungkapan orang-orang yang suka mengharamkannya. Menghidangkan makanan untuk orang-orang yang bertakziyah adalah dibolehkan sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyidah Aisyah ra dan yang diwasiatkan oleh Khalifah Umar ra.


Melalui riwayat di atas itu pula dapat kita simpulkan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada para pelayat telah berlangsung sejak generasi shahabat. Lalu, bagaimana dengan pendapat mereka yang mengatakan semua ulama salaf telah mengharamkannya? Tentu saja itu hanyalah sebuah kebohongan yang mengatasnamakan para ulama salaf.


Kalau kita menyimak fatwa Imam Thawus, maka menyuguhkan makanan kepada para pelayat bisa menjadi perbuatan yang dihukumi sunnah, yakni apabila diniatkan sebagai sedekah. Bahkan hal itu akan memberikan manfaat bagi si mayit jika pahalanya diniatkan untuknya.


Sebagaimana yang dikutip oleh Imam as-Suyuthi dalam kitabnya al-Hawi li al-Fatawi berikut ini:


حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ اْلقَاسِمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا اْلأَشْجَاعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: قَالَ طَاوُسُ: إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ


“Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, meriwayatkan kepada kami Hasyim bin al-Qasim, ia berkata, “Meriwayatkan kepada kami al-Asyja’i dari Sufyan, yang berkata, “Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian (kalangan Salaf) mensunnahkan bersedekah makanan (yang pahalanya) untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu.” (al-Hawi li al-Fatawi, Juz 2, halaman 178).


Sedangkan ulama yang mengharamkannya lebih cenderung pada persoalan sumber harta/biaya yang dipakai untuk menyiapkan suguhan tersebut. Apabila hidangan itu dibiayai dari harta mahjur (seperti harta anak yatim yang belum dewasa) atau dari harta si mati yang mempunyai hutang dan dapat menimbulkan bahaya baginya karena tidak dapat melunasi hutangnya, maka dihukumi haram. Namun jika pembiayaannya berasal dari bantuan para tetangga, maka hal itu tidaklah mengapa (diperbolehkan).

________________
[1] Lihat: ‘Awn al-Ma’bud, Juz 9, halaman 129. Keterangan yang sama juga dapat dilihat dalam kitab Dalail al-Nubuwwah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri dari orang yang telah meninggal dunia itu.

Posting Komentar untuk "Makanan Untuk Pentakziyah Orang Meninggal"