Menolak Kaidah Anti Bid'ah


Ada satu kaedah yang sering digunakan oleh kaum Wahabi untuk menolak acara maulid, tahlilan dan lain-lain yang mereka anggap sebagai bid’ah yang sesat. Kaedah tersebut adalah:

لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

Seandainya perbuatan tersebut baik, pasti mereka (kaum salaf) mendahului kita melakukannya.

Jawaban terhadap kaedah ini simpel. Kaedah tersebut termasuk kaedah baru, muhdats dan bid’ah. 

Pertama) kaedah tersebut bertentangan dengan sunnah yang shahih. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan: 

عَنْ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ وَفِي رواية فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ

Sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar sabdaku, lalu ia mengingatnya, kemudian menyampaikannya seperti yang pernah didengarnya. Karena tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadits dariku tidak dapat memahaminya.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Tidak sedikit orang yang memperoleh suatu hadits dari seseorang lebih memahami daripada orang yang mendengar hadits itu secara langsung dariku.” 

Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (2580, 2581 dan 2583), Abu Dawud (3175); Ibn Majah (226) dan lain-lain.

Hadits tersebut menunjukkan bahwa di antara sahabat yang mendengar hadits dari baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung, ada yang kurang memahami terhadap makna-makna yang dikandung oleh hadits tersebut. Namun kemudian ia menyampaikan hadits itu kepada murid-muridnya yang terkadang lebih memahami terhadap kandungan maknanya. Pemahaman lebih, terhadap kandungan hadits tersebut menyangkut penggalian hukum-hukum dan masalah-masalah yang nantinya disebut dengan proses istinbath atau ijtihad. Dari sini dapat dipahami, bahwa di antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang kurang mengerti terhadap maksud suatu hadits daripada murid-murid mereka. Dan murid-murid mereka yang memiliki pemahaman lebih terhadap hadits tadi disebut dengan mujtahid. 

Walhasil, hadits shahih di atas mengakui hasil ijtihad ulama tabi’in, yang belum terpikirkan oleh ulama sahabat. Berarti hadits tersebut juga mengakui hasil ijtihad ulama berikutnya, dalam persoalan yang belum terpikirkan oleh ulama tabi’in. Dan demikian pula seterusnya, seperti dalam masalah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kedua) kaedah tersebut bertentangan dengan amaliah para sahabat. Dalam kisah penghimpunan mushhaf, sahabat Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu berkata kepada Umar: 

كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ 

“Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Lalu Umar menjawab:
إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ

“Demi Allah, ini baik”.

Kemudian keduanya sepakat untuk menghimpun al-Qur’an dalam mushhaf, padahal sebelumnya tidak pernah dilakukan. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (4679), al-Tirmidzi (3103), Ahmad (1/10) dan al-Nasa’i dalam Fadha’il al-Qur’an (20). Hal ini berarti menolak terhadap kaedah di atas yang sering digunakan oleh kaum Wahabi yang anti maulid. Wallahu a’lam.


Posting Komentar untuk "Menolak Kaidah Anti Bid'ah"