A. Pengertian
Secara bahasa tawasul artinya mengambil perantara
secara istilah diartikan sebagai salah satu cara berdo’a kepada Alloh SWT dan
salah satu dari beberapa pintu tawajuh kepada Alloh SWT dengan menggunakan
Wasilah (perantara) adapun yang dituju dari tawasul ini adalah Alloh semata.
B. Dalil-dalil tawasul
Ada beberapa dalil tentang diperbolehkannya
tawasul baik dalil Al’quran, as-sunnah maupun atsar. Diantaranya firman Alloh
SWT : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh SWT. Dan
carilah perantara untuk sampai kepada Alloh SWT. Berjihadlah kamu di jalan-Nya
mudah-mudahan kamu dapat keuntungan.” (QS. Al-Ma’idah:35).
Sayid Muhammad bin Alawi Al-Maliki memberikan
komentar tentang ayat ini: Bahwa yang dimaksud dengan الوسيلةdalam
ayat ini adalah setiap sesuatu yang dijadikan pendekatan/perantara kepada Alloh
SWT lebih lanjut ia menjelaskan :
وَلَفْظُ
اْلوَسِيْلَةِ عَامٌ فِى اْلآيَهِ كَمَا تَرَى فَهُوَ شَامِلٌ
لِلتَّوَاسُلِ بِاالذَّوَاتِ اْلفَاضِلَةِ مِنَ اْلاَنْبِيَاءِ
وَالصَّالحِينَ فِى اْلحَيَاةِ وَبَعْدَ اْلمَمَاتِ وَباِلْاتِيْاَنِ
بِاْلاَعْمَالِ الصَّالِحَةِ عَلَى اْلوَجْهِ اْلمَأْمُوْرِ
بِهِ وَلِلتَّوَاسُلِ بِهَا بَعْدَ وُقُوْعِهَا.
Seperti yang kamu ketahui bahwa lafal الوسيلة pada ayat diatas bersifat umum yang
memungkinkan artinyaberwasilah dengan dzat-dzat yang utama seperti para Nabi,
orang-orang soleh,baik dalam masa hidup mereka maupun sudah mati juga
memungkinka diartikan berwasilah dengan amal-amal soleh dengan menjalankan
amal-amal soleh itu dan dijadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Alloh
SWT.
Dalam tafsir sowi dijelaskan:
وَيَصِحُّ اَنَّ اْلمُرَادَ بِالتَّقْوَى اِمْتتَِالُ
اْلمَأْمُوْرَاتِ الْوَاجِبَةِ وَتَرْكُ اْلمَنْهِيَّاتِ
اْلمُحَرَّمَةِ وّابْتِغَاءِالْوَسِيْلَةَ مَايُقِرُّبِهِ
اِلَيْهِ مُطْلَقًا، وَمِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ مَحَبَّةُاَنْبِيَاءِ
اللهِ تَعَلَى وَاَوْلِيَائِهِ وَالصَّدَقَاتِ وَزِيَارَةِ
اَحْبَابِ اللهِ وَكَشْرَةِ الدُّّعَاءِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَكَشْرَةِ
الذِّكْرِ وَغَيْرِذَلِكَ.فَالْمَعْنَى كُلُّ مَا يُقَرِّ بُكُمْ
اِلَى اللهِ فَالْزَمُوْهُ وَاتْرُكُوْامَا يُبْعِدُكُمْ عَنْهُ اِذَاعَلِمْتَ ذَلِكَ. فَمِنَ الضَّلَالِ اْلمُِيْن
وَالْخُسْرَانِ الظَّاهِرِ يَكْفِيْرُ
الْمُسْلِمِيْنَ بِزِيَارَةِ أَوْلِيَاءِ اللهِ زَاعِمِيْنَ
اَنَّ زِيَارَتَهُمْ مِنْ عِبَادَةِ غَيْرِ اللهِ كَلَّا بَلْ هِيَ مِنْ جُمْلَةِ الْمَحْبَةِ فِى اللهِ الَّتِى
قَالَ فِيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: اَلَا لَا اِيْمَانَ لِمَنْ لَا مَحَبَّةَ
لَهُ، وَالْوَسِيْلَةِ لَهُ الَّتِى قَالَ اللهُ فِيْهَا: وَابْتَغُواْ اِلَيْهِ
الْوَسِيْلَةَ:.اھ ΅
Yang dimaksud dwngan taqwa yaitu menjalankan
perintah-perintah yang wajib dan menjauhi larangan-larangan yang diharamkan
juga mencari perantara untuk mendekatkan kepada Alloh, secara mutlak. Dan
termasuk di dalamnya adalah mencari para Nabi, wali-wali Alloh, sodaqoh,
menziarahi kekasih-kekasih Alloh, memperbanyak do’a, silaturahim, memperbanyak
dzikir dan lain sebagainya. Artinya menjalankan sasuatu yang dapat menjauhkan
kita dari Alloh . Maka sesuatu yang dapat mendekatkan kita kepada Alloh dan
meninggalkan sesuatu yang dapat menjauhkan kita dari Alloh. Maka suatu
kesesatan yang jelas dan kerusakan yang jelas juga bila mengkairkan orang-orang
yang berziarah kemakam-makam wali Al;loh dengan menganggap bahwa ziarah adalah
sirik. Padahal ziarah itu sebagian bentuk mahabbah kepada Alloh seperti yang
Rosululloh sabdakan” tiadakah iman bagi orang yang tidak mempunyai perantara
kepada Alloh sp yang Alloh Firmankan: Carilah perantara untuk menuju Alloh.”
Dalam ayat yang lain Alloh SWT berfirman:
“Jika mereka telah berbuat aniaya pada dirinya
(berbuat dosa),lalu mereka dating kepadamu (hai Muhammad)dan meminta ampunan
kepada Alloh SWT, kemudian Rosul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah
Alloh SWT Yang Maha meerima taubat dan yang Maha Penyayang akan menerima tobat
mereka .”(QS. Al-Nisa ;64) .
Imam Bukhori juga meriwayatkan hadist tentang
tawasulnya sahabat umar bin khatab ketika melakukan shalat istis’qo :
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَابِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ اِذَاقَحَطُوا اسْتَسْقَى
بِالْعِبَاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ الَّلَهُمَّ اِنَا
كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا
وَاِناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمَّ نَبِيِّناَ فاَسْقِناَ
قاَلَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخارى،٩٥٤(
Dari Anas bin Malik R.A beliu berkata “Apabila
terjadi kemarau, sahabat Umar bin alkhathab bertawasul dengan Abbas bin Abdul
Muththalib, kemudian berdo’a “Ya Alloh kami pernah berdo’a dan bwertawasul
kepada-Mu dengan Nabi SAW, maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami
bertawasul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan.” Anas berkata “Maka
turunlah hujan kepada kami.” (HR. al- Bukhori :954)
Menyikapi tawasul sayyidina Umar R.A tersebut
Sayyidina Abbas R.A berdo’a;
اَللَّهُمَّ اِنَّهُ لَمْ يَنْزِلُ بَلَاءٌ اِلَّا بِذَنْبِ
وَلَا يُكْشَفُ اِلَّا بِتَوْبَةِ قَدْ تَوَ جَّهَ
اْلقَوْمُ بِي اِلَيْكَ لِمَكَا نِي… الج اخرجه الز
بير بن بكار (التحذ ير من الأغترار١٢٥(
Ya Alloh sesungguhnya malapetaka itu tidak akan
turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini
kaum muslimin bertawasul kepadaku untuk memohon kepada Mu karena kedudukanku
disisi NabiMu….diriwatkan oleh al-Zubair bin Bakkar.:”(Al-Tahdzir min
al-Ightirar, hlm. 125). Mengomentari hal ini Syaikh Abdul Hayyi al-amrawi dan
Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan, pada hakikat nya tawasul yang dilakukan
Sayyidina umar R.A dengan Sayyidina Abas R.A merupakan tawasul dengan Nabi SAW
(yang pada waktu itu telah wafat) disebabkan posisi Abbas sebagai paman Nabi
SAW dan karena kedudukannya disisi Nabi SAW. (Al-Tahdzir min al-Ightirar,
hal:6).
قَلَ ابْنُ تَيْمِيِّ فِي الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْجَيِّ وَالْمَيِّتِ
كَمَازَعَمَ بَعْضُهُمْ فَقَبدْ صَجَّ عَنْ بَعْضِ الصَّجَابَةِ
اَنَّهُ اُمِرَ بَغْضُ الْمُجْتاَ جِيْنَ اَنْ يَتَوَسَّلُوْا بِهِ صَلَّئ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعْدَ
مَوْتِهِ فِئ خِلَا فَتِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
فَتَوَ سَّلَ بِهِ قَقُضِئَتْ حَاجَتُهُ كَمَا
ذَكَرَهُ الطَّبْرَانئِ
Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Shirath al
– Mustaqim : Tak ada perbedaan antara orang hidup dan mati seperti yang
diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadist sohih menegaskan : Telah
diperintahkan kepada orang – orang yang memiliki hajat dimasa khalifah Ustman
untuk bertawassul kepada nabi setelah dia wafat. Kemudian, mereka bertawassul
kepada Rosul, dan hajat mereka pun terkabul. Demikian diriwayatkan oleh ath –
Thabrany.
Dalam kitab 40 masalah agama, jilid 1, hal 137 –
138 disebutkan:
عَنْ اَنَسٍ اَنْ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَئ
باِلْعَباَّسِ بْنِ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَقاَلَ اَللَّهُمَّ
كُناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّناَ فَتُسْقَيْناَ وَاِناَّ
نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمِّ بِنَبِيِّناَ فاَسْقِناَ فَيُسْقَوْنَ.
(رواه البخارى.
Dari sahabat Annas, ia mengatakan : Pada zaman
Umar bin Khaththab mengatakan : pernah terjadi musim peceklik. Ketika melakukan
sholat istisqo Umar ber tawassul kepada paman Rosulullah, Abbas bin Abdul
Muththlib ; Ya Tuhan, dulu kami mohon kepada – Mu dengan tawassul paman nabi –
Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada
mereka. (HR. al – Bukhari).
اِنَّ
التَّوَسُّلَ وَالتَّشَفُّعَ بِهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِجَاهِهِ وَبَرَكَاتِهِ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسِلِيْنَ
وَسِيْرَةِ السَّلَفِ الصَّلِحِيْنَ.
Sesungguhnya tawassul dan minta syafa’at kepada
Nabi atau dengan keagungan dan kebesarannya, termasuk diantara sunnah (amal
kebiasaan) para Rosul dan orang – orang Salaf Shalihin (para pendahulu yang
soleh – soleh).
Adapun kaitannya dengan ayat – ayat Al – Qur’an
yang sering digunakan untuk mengharamkan tawassul seperti ayat – ayat dibawah
ini :
اَلَا للهِ الدَّيْنِ الْخَالِصُ وَالَّدِيْنَ
اتَّخَذُوْا مِنْ دُونِهِ اَوْلِياَءَ مَانَعْبُدُهُمْ
اِلَّا لِيُقَرِّبُوناَ اِلىَ اللهِ زُلْفَى )الزمر:٢٣ (
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah – lah agama yang
bersih (dari syirik). Dan orang – orang yang mengambil pelindung selain Allah
(berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan sedekat – dekatnya.” (QS. Al – Zumr: 23).
Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan
cermat, Syaikh Abdul Hayyi al –‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan
“Perkataan para penyembah berhala “Kami menyembah mereka (berhala – berhala
itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat – dekatnya.
Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk tujuan tersebut.
Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para Rosul itu tidak
menyembah mereka. Tetapi karena dia tau bahwa orang yang di – tawassul – i
tersebut memiliki keutamaan dihadapan Allah Swt dengan kedudukannya sebagai
Rosul, ilmu yang dimiliki atau kerena kenabiannya. Dan karena kelebihannya
itulah kemudian ada orang yang melakukan tawassul dengan mereka.” (Al – Tahdzir
min al – Ightitar, hal : 113).
Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki juga
memberikan komentarnya tentang ayat – ayat yang digunakan dalil untuk
mengharamkan tawassul. Ayat – ayat itu diantaranya :
فَلاَ
تَدْعُوْا مَعَ اللهِ اَحَدً.الاية,لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِ
وَالَّدِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ لَا يَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ
بِشَيْئٍ. الاية
Bahwa ayat – ayat ini ditujukan bagi orang –
orang musyik yang menyembah berhala, tentunya berbeda dengan orang yang
bertawassul yang hanya menjadikan sesuatu sebagai perantara menuju Allah Swt.
Posting Komentar untuk "Tawassul"