Mengenai hukum wanita haidh
membaca al-Qur'an, berikut uraian selengkapnya dari kitab Hasyiyah al-Bujairimi
'ala al-Iqna' karya Sulaiman bin Umar bin Muhammad al-Bujairimi :
)وَ
) الثَّالِثُ ( قِرَاءَةُ ) شَيْءٍ مِنْ ( الْقُرْآنِ ) بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ كَمَا قَالَ
الْقَاضِي فِي فَتَاوِيهِ ، فَإِنَّهَا
مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ النُّطْقِ هُنَا وَلَوْ بَعْضَ
آيَةٍ لِلْإِخْلَالِ بِالتَّعْظِيمِ ، سَوَاءٌ أَقَصَدَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرَهَا أَمْ لَا لِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ
وَغَيْرِهِ : { لَا يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ
شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ }
الشَّرْحُ قَوْلُهُ : ( وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ) وَعَنْ
مَالِكٍ : يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ، وَعَنْ
الطَّحَاوِيِّ يُبَاحُ لَهَا مَا دُونَ الْآيَةِ كَمَا نَقَلَهُ فِي
شَرْحِ الْكَنْزِ مِنْ كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ
"Keharaman sebab haid yang ketiga adalah
membaca sesuatu dari al-Qur’an, dengan diucapkan atau dengan isyarah dari orang
bisu, seperti yang dikatakan Qadhi Husein dalam Fatawinya. Mengingat konteks
isyarah diletakkan pada konteksnya hukum berucap pada permasalahan ini,
meskipun yang dibaca hanyalah sebagian ayat saja dikarenakan hal itu
menunjukkan pada unsur penghinaan. Baik bacaan itu diniati bersama dengan niat
yang lain ataupun tidak, berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan lainnya,
“Orang yang sedang junub dan orang yang haid tidak diperbolehkan membaca
sesuatu dari al-Qur’an.
Komentar pensyarah: [Membaca al-Qur’an] dari Imam
Malik dijelaskan bahwa diperbolehkan bagi perempuan haid membaca al-Qur’an. Dan
dari Ath-Thahawi diterangkan bahwa diperbolehkan bagi dia untuk membaca
al-Qur’an namun kurang dari satu ayat, seperti yang dia kutipkan dalam Syarah
Al-Kanzu dari kitabnya mazhab Hanafi." (Hasyiyah Bujairimi, 3/259-261)
تَنْبِيهٌ
: يَحِلُّ
لِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ أَذْكَارُ الْقُرْآنِ وَغَيْرُهَا كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ لَا
بِقَصْدِ الْقُرْآنِ كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ :
{ سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا
كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ } أَيْ مُطِيقِينَ ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ
: { إنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ } وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ
بِلَا قَصْدٍ فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ
حُرِّمَ ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا .
كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ النَّوَوِيُّ فِي دَقَائِقِهِ
لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ بِحُرْمَتِهِ ؛ لِأَنَّهُ لَا
يَكُونُ قُرْآنًا إلَّا بِالْقَصْدِ قَالَهُ النَّوَوِيُّ
وَغَيْرُهُ ، وَظَاهِرُهُ أَنَّ ذَلِكَ جَارٍ فِيمَا يُوجَدُ نَظْمُهُ
فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ كَالْآيَتَيْنِ الْمُتَقَدِّمَتَيْنِ وَالْبَسْمَلَةِ
وَالْحَمْدَلَةِ ، وَفِيمَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ إلَّا فِيهِ
كَسُورَةِ الْإِخْلَاصِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ ، وَهُوَ كَذَلِكَ ، وَإِنْ قَالَ الزَّرْكَشِيّ : لَا شَكَّ فِي
تَحْرِيمِ مَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ
، وَتَبِعَهُ عَلَى ذَلِكَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَمَا شَمِلَ
ذَلِكَ قَوْلَ الرَّوْضَةِ ، أَمَّا إذَا قَرَأَ
شَيْئًا مِنْهُ لَا عَلَى قَصْدِ الْقُرْآنِ فَيَجُوزُ .
الشَّرْحُ
قَوْلُهُ :
( تَنْبِيهٌ
إلَخْ ) هَذَا التَّنْبِيهُ بِمَنْزِلَةِ قَوْلِهِ مَحَلُّ حُرْمَةِ
الْقِرَاءَةِ إذَا كَانَتْ بِقَصْدِ الْقُرْآنِ أَوْ بِقَصْدِ الْقُرْآنِ وَالذِّكْرِ ، و َإِلَّا فَلَا حُرْمَة
.
قَوْلُهُ
: ( يَحِلُّ
إلَخْ ) كَلَامُهُ فِي الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ فَدُخُولُ غَيْرِهِمَا
مَعَهُمَا اسْتِطْرَادِيٌّ تَأَمَّلْ ق ل .
قَوْلُهُ
: ( كَمَوَاعِظِهِ ) أَيْ مَا فِيهِ تَرْغِيبٌ أَوْ تَرْهِيبٌ
.
قَوْلُهُ
: ( وَأَخْبَارِهِ ) أَيْ عَنْ الْأُمَمِ السَّابِقَةِ .
قَوْلُهُ
: ( وَأَحْكَامِهِ ) أَيْ مَا تَعَلَّقَ بِفِعْلِ الْمُكَلَّف
.
قَوْلُهُ
: ( وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ ) بِأَنْ سَبَقَ لِسَانُهُ إلَيْهِ
.
قَوْلُهُ
: ( وَإِنْ
أَطْلَقَ فَلَا ) كَمَا لَا يَحْرُمُ إذَا قَصَدَ الذِّكْرَ فَقَطْ
، فَالصُّوَرُ أَرْبَعَةٌ يَحِلُّ فِي ثِنْتَيْنِ ، وَيَحْرُمُ فِي ثِنْتَيْنِ وَأَمَّا لَوْ قَصَدَ وَاحِدًا لَا
بِعَيْنِهِ فَفِيهِ خِلَافٌ ، وَالْمُعْتَمَدُ الْحُرْمَةُ ؛
لِأَنَّ الْوَاحِدَ الدَّائِرَ صَادِقٌ بِالْقُرْآنِ فَيَحْرُمُ
لِصِدْقِهِ بِهِ . قَوْلُهُ : ( لَا يَكُونُ قُرْآنًا
إلَخْ ) أَيْ لَا يَكُونُ قُرْآنًا تَحْرُمُ قِرَاءَتُهُ عِنْدَ وُجُودِ الصَّارِفِ إلَّا بِالْقَصْدِ ، وَإِلَّا
فَهُوَ قُرْآنٌ مُطْلَقًا ، أَوْ الْمَعْنَى لَا يُعْطَى حُكْمَ
الْقُرْآنِ إلَّا بِالْقَصْدِ ، وَمَحَلُّهُ مَا لَمْ يَكُنْ
فِي صَلَاةٍ كَأَنْ أَجْنَبَ وَفَقَدَ الطَّهُورَيْنِ وَصَلَّى لِحُرْمَةِ
الْوَقْتِ بِلَا طُهْرٍ ، وَقَرَأَ الْفَاتِحَةَ ، فَلَا
يُشْتَرَطُ قَصْدُ الْقُرْآنِ ، بَلْ يَكُونُ قُرْآنًا
عِنْدَ الْإِطْلَاقِ لِوُجُوبِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ فَلَا صَارِفَ فَاحْفَظْهُ وَاحْذَرْ خِلَافَهُ كَمَا ذَكَرَهُ
ابْنُ شَرَفٍ عَلَى التَّحْرِيرِ
.
"(Tanbih): Diperbolehkan bagi orang yang
mempunyai hadats besar untuk membaca dzikir al-Qur’an dan yang lainnya, seperti
mauizhahnya, cerita, dan hukum yang ada di dalam al-Qur’an, dengan tidak
diniatkan pada al-Qur’annya. Seperti perkataanya ketika naik kendaraan :
سبحان
الذي سخر لنا هذا و ما كنا له مقرنين
dan ketika mendapat musibah dia mengucapkan :
إنا
لله و إنا اليه راجعون
Serta pada apa yang tanpa dikehendaki terucap
oleh lisannya. Namun jika dia memaksudkan al-Qur’an saja atau memaksudkan
al-Qur’an beserta dzikirnya, maka diharamkan. Kemudian jika dia memutlakkannya
maka tidak diharamkan, sesuai dengan peringatan an-Nawawi dalam kitab Daqaiq,
sebab tidak ada unsur penghinaan pada kemuliaan al-Qur'an di sini. Memandang
bahwasanya al-Qur'an tidak akan diberlakukan hukum al-Qur'an kecuali ketika
dengan wujudnya niat.
Secara zahir pendapat tersebut berlaku baik pada
ayat yang bisa ditemukan susunan kalimatnya di luar al-Qur'an semisal dua ayat
di atas, juga basmalah dan al-fatihah. Serta pada ayat yang tidak akan
ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur'an semisal surat al-Ikhlas dan
ayat kursi. Benarlah demikian, meski az-Zarkasyi berpendapat tidak diragukannya
keharaman pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur'an.
Pendapat az-Zarkasyi ini dianut oleh sebagian ulama mutaakhirin.
Keterangan an-Nawawi tentang kemutlakan tersebut
juga terkandung dalam kitab ar-Raudhah. Sedangkan ketika membaca al-Qur'an itu
tidak diniatkan pada membaca al-Qur'annya maka diperbolehkan.
Komentar pensyarah :
[Tanbih dst.] Tanbih ini menempati perkataan
mushannif, “Tempat keharaman membaca al-Qur’an adalah ketika dalam pembacaan
itu dengan maksud al-Qur’an atau dengan maksud al-Qur’an dan dzikir. Jika tidak
memaksudkan dengan itu semua maka tidak diharamkan."
[Diperbolehkan dst.] Pembahasan penulis tentang
wanita haidh dan nifas, namun bisa dikonfirmasikan juga pembahasan selain
keduanya. Cermatilah. (al-Qulyubi)
[Seperti mauizhah] Yakni perkara tentang anjuran
dan ancaman.
[Cerita] Yakni dari kisah umat terdahulu.
[Dan hukum yang ada di dalam al-Qur'an] Yakni
perkara yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
[Serta pada apa yang tanpa dikehendaki terucap
oleh lisannya] Dengan kelepasan bicara.
[Kemudian jika dia memutlakkannya maka tidak
diharamkan] Sebagaimana tidak pula diharamkan ketika diniatkan pada dzikirnya
saja. Sehingga bisa disimpulkan ada empat situasi pembacaan al-Qur'an di sini.
Dua diperbolehkan, dan dua lainnya diharamkan.
Sedangkan ketika dia meniatkan pada salah satunya
namun tanpa dijelaskan yang mana maka hukumnya khilaf. Menurut qaul Mu'tamad
dihukumi haram. Sebab unsur salah satunya bisa dimungkinkan niat pada
al-Qur'annya sehingga diharamkan memandang adanya kemungkinan tersebut.
[Al-Qur'an tidak akan diberlakukan hukum al-Qur'an dst.] Yakni ketika muncul
qarinah pembeda maka tidak dianggap sebagai al-Qur'an yang haram dibaca kecuali
dengan wujudnya niat. Atau bisa juga diartikan tidak diberlakukan hukum
al-Qur'an kecuali dengan wujudnya niat. Konteks ini mengesampingkan pada kasus
shalat, semisal pada orang junub yang tidak bisa bersuci dengan wudhu dan
tayammum, lantas dia shalat li hurmatil waqti, membaca al-Fatihah, maka tidak
berlaku persyaratan niat membaca al-Qur'an. Bahkan tetap dianggap sebagai hukum
bacaan al-Qur'an ketika dimutlakkan sebab tidak ada qarinah pembeda di sini.
Camkanlah dan hati-hati terhadap kesalahpahaman tentang hal itu, sebagaimana
dituturkan oleh an-Nawawi dalam kitab at-Tahrir." (Hasyiyah al-Bujairimi,
1/259-264).
Elaborasi tentang khilafiyah Imam Malik
dituturkan dalam kitab al-Mausu'ah:
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ يَجُوزُ
لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي حَال
اسْتِرْسَال الدَّمِ مُطْلَقًا ، كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لاَ
، خَافَتِ النِّسْيَانَ أَمْ لاَ . وَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا
، فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ حَتَّى تَغْتَسِل جُنُبًا كَانَتْ أَمْ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَخَافَ
النِّسْيَانَ .
هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَهُمْ ، لأَنَّهَا
قَادِرَةٌ عَلَى التَّطَهُّرِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ ،
وَهُنَاكَ قَوْلٌ ضَعِيفٌ هُوَ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا
انْقَطَعَ حَيْضُهَا جَازَ لَهَا الْقِرَاءَةُ إِنْ لَمْ تَكُنْ جُنُبًا قَبْل الْحَيْضِ . فَإِنْ كَانَتْ جَنْبًا
قَبْلَهُ فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ
.
"Kalangan malikiyah berpendapat bahwa wanita
haidh diperbolehkan membaca al-Qur'an di masa sedang keluarnya darah haidh
secara mutlak, baik disertai junub maupun tidak, entah karena khawatir lupa
ataupun tidak. Sedangkan di masa darah haidh sedang berhenti maka tidak
diperbolehkan membaca al-Qur'an sampai dia mandi bersuci, baik kondisinya
disertai junub maupun tidak, kecuali bila khawatir lupa (maka boleh membaca,
pen).
Pendapat di atas adalah qaul mu'tamad, sebab
seorang wanita dipandang mampu bersuci dalam kondisi darah sedang berhenti
tersebut. Namun dalam hal ini ada qaul dha'if yang berpendapat seorang wanita
ketika darahnya sedang berhenti tetap diperbolehkan membaca al-Qur'an asalkan
kondisinya tidak disertai junub sebelum haidh. Ketika sebelum haidh telah
disertai junub maka tidak diperbolehkan membaca al-Qur'an (sampai dia mandi
bersuci, pen)" (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, 18/322)
Kesimpulan :
Dalam mazhab syafi'iyah terdapat tujuh pembahasan
yang berkaitan dengan hukum wanita haidh membaca al-Qur'an :
•Bila membaca al-Qur'an diniati untuk membaca
al-Qur'annya maka haram.
•Bila membaca al-Qur'an diniati untuk membaca
al-Qur'annya besertaan niat lainnya maka juga dihukumi haram.
•Bila membaca al-Qur'an diniati selain untuk
membaca al-Qur'an seperti untuk menjaga hafalan, membaca zikirnya, kisah-kisah,
mauizah, hukum-hukum, maka diperbolehkan.
•Bila membaca al-Qur'an karena kelepasan bicara
maka diperbolehkan.
•Bila membaca al-Qur'an diniati secara mutlak,
yakni sekedar ingin membaca tanpa niat tertentu maka diperbolehkan.
•Bila membaca al-Qur'an diniati secara mutlak
atau niat selain al-Qur'an, namun yang dibaca adalah susunan kalimat khas
al-Qur'an atau satu surat panjang atau keseluruhan al-Qur'an maka khilaf.
Menurut an-Nawawi, ar-Ramli Kabir, dan Ibnu Hajar diperbolehkan, sedangkan bagi
az-Zarkasyi dan as-Suyuthi diharamkan.
•Bila membaca al-Qur'an diniatkan pada salah
satunya tanpa dijelaskan yang mana maka khilaf. Menurut qaul mu'tamad
diharamkan sebab adanya kemungkinan niat pada bacaan al-Qur'an.
Sedangkan dalam mazhab malikiyah boleh bagi
wanita haidh membaca al-Qur'an. Lebih jelasnya tentang hal ini terdapat dua
pembahasan:
❖ Boleh secara mutlak, yakni ketika membacanya dalam
kondisi darah haidh sedang merembes keluar.
❖ Tidak diperbolehkan sebelum mandi hadats, yakni
ketika membacanya dalam kondisi darah haidh sedang mampet. Kecuali bila
khawatir lupa, atau kecuali dengan menengok pada qaul dha'if yang
memperbolehkannya asalkan haidhnya tidak disertai junub.
Baca juga Wanita Istihadloh Membaca Al Qur'an
Baca juga Wanita Istihadloh Membaca Al Qur'an
Posting Komentar untuk "Wanita haid membaca Al Qur'an"