Setiap muslim tentulah mengimani bahwa “ar
Rahmaanu 'alaa al'arsyi istawaa” karena memang itu disebutkan dalam Al
Qur’an pada surat Thaahaa [20] ayat : 5.
Imam Malik ra mengatakan “al-Istiwa Ghair
Majhul” maknanya istiwa telah jelas penyebutannya (dalam Al Qur’an). Hal
ini sama dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i ra yang mempergunakan kata
“al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam
al-Qur’an. Begitupula dalam tafsir Al-Qurthubi (Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan),
7/219-220
قال
مالك رحمه الله: الاستواء معلوم
Yang artinya “Telah berkata Malik rahimahullah :
‘Al-Istiwaa’ ma’luum” (telah diketahui disebutkan dalam al Qur’an)
Namun jumhur ulama tidak sependapat bahwa
maknanya adalah Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy karena mustahil
Allah Azza wa Jalla dibatasi atau terbatas oleh ‘Arsy.
Ulama yang mengimani (beri’tiqod) bahwa Allah
Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy salah satunya adalah ulama Ibnu
Taimiyyah, ulama yang dikenal memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar
sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan
memahaminya dengan akal pikiran sendiri, tidak mengikuti pendapat (hasil
ijtihad) pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias tidak
mengikuti pendapat Imam Mazhab yang empat.
Ulama Ibnu Qoyyim al Jauziah ber-talaqqi
(mengaji) kepada ulama Ibnu Taimiyyah, namun sayangnya beliau ber-talaqqi
kepada ulama yang tidak bermazhab sehingga beliau pun mengimani (beri’tiqod)
bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy
Begitu juga dengan ulama Muhammad bin Abdul
Wahhab memahami Al Qur'an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara
otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab). Kitab utama yang
dipelajarinya adalah kitab karya ulama Ibnu Taimiyyah.
Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika
memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak)
melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran
sendiri, kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah
yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah
dengan makhluq Nya
Ulama Ibnu Taimiyyah pada awalnya bermazhab Imam
Hambali namun pada akhirnya memperturutkan akal pikirannya sendiri sehingga
pemahamannya menyelisihi para pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid
Mutlak) alias Imam Mazhab.
Contohnya bantahan ulama yang menyatakan mereka
semula bermazhab dalam tulisan Pada
***** awal kutipan *****
مطلب
في عقيدة الإمام أحمد رضي الله عنه وأرضاه
وسئل
رضي الله عنه ونفعنا به : في عقائد الحنابلة ما لا يخفى على شريف علمكم ، هل عقيدة
الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه كعقائدهم ؟
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah
ditanya tentang akidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah
akidah Imam Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka ?
Beliau menjawab:
فأجاب بقوله : عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي الله عنه
وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض
علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس الأعلى
من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة التامة في تنزيه الله تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا
كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر سمات
النقص ، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق ، وما
اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه ،
فلعن الله من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه
المثالب التي برأه الله منها
Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal
–semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman
surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal
Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh
orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi
Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya,
bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari
orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini,
yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya,
maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap
beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau
atau yang menuduh beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau
darinya itu.
وقد بين الحافظ الحجة القدوة الإمام أبو الفرج ابن
الجوزي من أئمة مذهبه المبرئين من هذه الوصمة القبيحة
الشنيعة أن كل ما نسب إليه من ذلك كذب عليه وافتراء
وبهتان ، وأن نصوصه صريحة في بطلان ذلك وتنزيه الله تعالى عنه ، فاعلم ذلك فإنه مهم .
وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم
الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله الله على
علم ، وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة
فمن يهديه من بعد الله ، وكيف تجاوز هؤلاء الملحدون الحدود وتعدوا الرسوم وخرقوا سياج الشريعة والحقيقة فظنوا بذلك
أنهم على هذى من ربهم وليسوا كذلك بل هم على أسوإ
الضلال وأقبح الخصال وأبلغ المقت والخسران وأنهى
الكذب والبهتان فخذل الله متبعه وطهر الأرض من أمثالهم
Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, Sang Panutan, Abul
Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam mazhab Hambali yang membersihkan
segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang masalah ini bahwa
segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan tuduhan
yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah
menunjukkan kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari
semua itu. Maka pahamilah masalah ini, karena sangat penting.
Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku
karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim dan orang seperti mereka
berdua. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah?
Bagaimana orang-orang atheis itu melampaui
batas-batas, menabrak aturan-aturan dan merusak tatanan syariat dan hakikat,
lalu mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk dari tuhan mereka,
padahal tidaklah demikian. Bahkan mereka berada pada kesesatan paling buruk,
kemurkaan paling tinggi, kerugian paling dalam dan kedustaan paling besar.
Semoga Allah menghinakan orang yang mengikutinya dan membersihkan bumi ini dari
orang-orang semisal mereka.
[ Sumber : Al Fatawa Al Haditsiyah 1/480 karya
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami ].
***** akhir kutipan *****
Apa yang disampaikan oleh Syaikhul Islam al-Imam
Ibnu Hajar al-Haitami tentang kesalahpahaman i’tiqod mereka yang semula
bermazhab Imam Hambali, disampaikan pula oleh ulama-ulama lainnya, contohnya
dapat ditemukan dalam tulisan pada > http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Jadi jelaslah memaknai istiwa sebagai bertempat
atau duduk sebagai makna yang telah diketahui atau makna dzahir adalah tidak
pantas bagi Allah Azza wa Jalla
Pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid
Mutlak) yang sepatutnya kita ikuti pendapatnya seperti Imam Syafi'i ra
mengatakan
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة
الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في
ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين
بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa
tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya
yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya
berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf
as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Allah Azza wa Jalla ada sebagaimana sebelum
diciptakan 'Arsy , sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum
diciptakan ciptaanNya. Dia tidak berubah dan tidakpula berpindah. Sesuatu yang
berubah dan berpindah adalah ciptaanNya.
Para Salafush sholeh tidak memaknai atau
mentafsirkan ayat-ayat sifat Allah sebagaimana makna yang diketahui orang awam
atau sebagaimana makna yang telah diketahui (makna dzahir)
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس
وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟
فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya
kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang
hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata
kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir.”
Pada ayat-ayat mutasyabihat khususnya Sifat
Allah, para Salafush Sholeh, mereka tidak mengucapkannya kecuali ‘ala sabilil
hikayah atau menetapkan lafazhnya (itersebutatul lafzhi) saja; yaitu hanya
mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy
istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih lebih dari itu; yaitu tidak
memaknakan (tafsir) atau tidak menetapkan maknanya (itersebutatul ma’na) bahwa
Allah bertempat di langit atau Allah berada di atas arasy.
Setelah generasi Salafush Sholeh maka semakin
banyak jumlah umat Islam sehingga semakin banyak “kepala” yang berupaya
memahami Al Qur’an dan As Sunnah dimana diperlukan upaya penjelasan terhadap
ayat mutasyabihat khususnya sifat Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang
dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Ulil Albab dalam memaknai istiwa memperhatikan
makna yang pantas bagi DzatNya dengan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Al
Qur'an lainnya, apa yang dikatakan Rasulullah, Salafush Sholeh, pendapat
pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang
empat dan kesepakatan jumhur ulama tentang ‘Arsy.
Rasulullah bersabda “wa Robbal ‘arsyil ‘azhiimii”
, “Tuhan yang menguasai ‘Arsy” (HR Muslim 4888)
Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Sesungguhnya
Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan
kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi DzatNya”
Jadi jumhur ulama sepakat bahwa Allah beristiwa
yang ditejermahkan Allah bersemayam maknanya adalah Allah menguasai ‘Arsy.
Ahli Bahasa dari Ash`ariah al-Raghib al-Asfahani
(w. 402H) mengatakan bahwa istawa `ala memiliki arti istawla `ala ("Dia
menguasai") dan dia mengutip ayat istiwa pada (QS Thaahaa [20]:5) sebagai
sebuah contoh dari makna ini: “Hal ini berarti bahwa segala sesuatu sama dalam
hubungannya dengan Dia, dalam arti bahwa tidak ada hal yang lebih dekat dengan
Dia dibanding dengan yang lain, karena Dia tidak seperti badan yang berada
secara tertentu di suatu tempat dan bukan di tempat lain” (al-Zabidi hal : 132)
Ibn Al-Jauzi membolehkan menafsirkan istiwa
sebagai “al-qahr”, menguasai. (Shubah al-Tashbih hal:23)
Walaupun mempunyai kemiripan dengan istila' dan
qahr, yang sama juga ditafsirkan oleh kaum Mu'tazilah (mereka yang menolak
sifat-sifat Allah) namun pemaknaan istiwa sebagai “menguasai” adalah pantas
bagi Allah Azza wa Jalla
Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan
kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak dianggap berlawanan dengan Sang
Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau “Qahir”, tidak
dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan
Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya”
(6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).
Al-Raghib, berkata:” itu berarti bahwa segala sesuatu adalah seperti itu dalam
hubungannya dengan Dia” dan dia tidak mengatakan, “menjadi seperti”.
Pada intinya dalam memahami ayat-ayat
mutasyabihat khususnya tentang sifat Allah agar tidak terjerumus dalam
kekufuran sebaiknya memperhatikan batas-batas yang telah disepakati oleh jumhur
ulama antara lain,
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin
As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia
(ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna
yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain
dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan,
mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam
kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma
Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah
aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal
itu salah satu pangkal kekufuran”.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata :
“Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali
menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul
Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau
karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab :
“Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka
(Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan
anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab
Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Rasulullah bersabda “Aku kabarkan berita gembira
mengenai Al-Mahdi yang diutus Allah ke tengah ummatku ketika banyak terjadi
perselisihan antar-manusia dan gempa-gempa. Ia akan penuhi bumi dengan keadilan
dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan
kezaliman.” (HR Ahmad 10898).
Rasulullah bersabda “Akan terjadi
perselisihan setelah wafatnya seorang pemimpin, maka keluarlah seorang lelaki
dari penduduk Madinah mencari perlindungan ke Mekkah, lalu datanglah kepada
lelaki ini beberapa orang dari penduduk Mekkah, lalu mereka membai’at Imam
Mahdi secara paksa, maka ia dibai’at di antara Rukun dengan Maqam Ibrahim (di
depan Ka’bah). Kemudian diutuslah sepasukan manusia dari penduduk Syam, maka
mereka dibenamkan di sebuah daerah bernama Al-Baida yang berada di antara
Mekkah dan Madinah.” (HR Abu Dawud 3737)
Pesan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Ketika
kalian melihatnya (kehadiran Imam Mahdi), maka berbai’at-lah dengannya walaupun
harus merangkak-rangkak di atas salju karena sesungguhnya dia adalah
Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Abu Dawud 4074)
Banyak ghazawat (perang) akan dipimpin
Imam Mahdi. Dan –subhaanallah- Allah akan senantiasa menjanjikan kemenangan
baginya.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam “Kalian perangi jazirah Arab dan Allah beri kalian kemenangan.
Kemudian Persia (Iran), dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi
Rum, dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah
beri kalian kemenangan.” (HR Muslim 5161)
Dalam hadits di atas yang diperangi pertama kali
adalah jazirah Arab karena pada akhir zaman jazirah Arab , pada masa akhir babak
Mulkan Jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya
mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya) mereka akan kembali mengalami masa
jahiliyah , keadaan mereka benar-benar mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya.
Kemudian diperangi wilayah Persia (Iran) untuk meluruskan
kesalahpahaman-kesalahpahaman saudara-saudara kita di sana. Kemudian diperangi
wilayah Rum , meluruskan kaum Nasrani yang telah disesatkan oleh kaum Yahudi
melalui Paulus (Yahudi dari Tarsus). Kemudian terakhir memerangi Dajjal.
Wallahu a'lam
Posting Komentar untuk "Makna istiwa yang pantas bagi-Nya"